PEMBELAJARAN KITAB KUNING
Dalam meniti karier ilmiyah, utamanya yang berkenaan dengan masalah keislaman, seseorang membutuhkan kemampuan bahasa Arab. Dari empat kemampuan bahasa arab yang ada, kemampuan membaca teks arab merupakan kemampuan yang paling penting untuk diperhatikan, meskipun hal ini tidak dapat diterjemahkan dengan dapat diabaikannya kemampuan bahasa arab yang lain .
Realitas mengatakan bahwa untuk mengkaji persoalan-persoalan keagamaan yang literaturnya tertulis dengan menggunakan bahasa arab, bagaimanapun juga yang lebih berperan adalah kemampuan membaca. Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan memahami kitab dapat berdampak pada terbatasnya orang tersebut dalam mengelaborasi persoalan keagamaan yang sedang dikajinya.
Minimal ada tiga unsur pokok yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk dapat sampai pada tingkat kemampuan pemahaman kitab yang memadai dan memenuhi standart. Tiga unsur dimaksud adalah unsur qawaid, unsur mufradat dan unsur tathbiq. Seseorang yang hanya memiliki kemampuan qawaid akan bermasalah dalam membaca dan memahami kitab, ketika perbendaharaan kata (mufradat ) yang dimilikinya sangat minim, demikian juga seterusnya. Karena demikian, tiga unsur ini harus diupayakan untuk dikuasai secara sistematis dan berkelanjutan baik oleh tenaga pengajar, maupun oleh peserta didik.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang peran dan andil dari tiga unsur di atas dalam mengantarkan peserta didik pada kemampuan memahami kitab, akan kami uraikan masing-masing dari tiga unsur di atas secara lebih jelas dan konkrit.
1. Unsur Qawaid
Kata qawaid merupakan bentuk jamak dari mufrad qaidatun yang berarti dasar, asas, pedoman, peraturan, kaidah . Sebenarnya ilmu-ilmu bahasa arab yang berfungsi menjaga ucapan dan tulisan dari kesalahan ada tiga belas, yaitu Sharf, I’rab, Rasm, Ma’aniy, Bayan, Badi’, ‘Arudl, Qawafiy, Qardlu al-syi’ry, Insya’, Khithabah, Tarikh al-adab dan matnu al-lughah.Dari tiga belas ilmu bahasa arab di atas yang paling penting adalah ilmu sharf dan ilmu I’rab ( nahwu ) .
Ilmu nahwu secara umum bertugas untuk menganalisis kedudukan I’rab sebuah kalimah dalam jumlah, sedangkan ilmu sharf secara umum bertugas untuk menganalisis status kata (shighat) yang merangkai sebuah jumlah.
Kata kunci yang harus diperhatikan dalam pengajaran qawaid, baik ilmu nahwu atau ilmu sharf adalah sistematis. Pengajaran ilmu qawaid yang tidak sistematis akan berdampak pada lompatan berfikir dan keruwetan yang berkepanjangan. Untuk dapat mensistematisasi materi ilmu qawaid dengan baik, sehingga mudah dicerna dan difahami, seseorang harus memahami terlebih dahulu pada karakter masing-masing bab yang terdapat dalam ilmu nahwu dan ilmu sharf. Dari perspektif inilah dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang yang bisa membaca kitab dapat menjadi pengajar ilmu nahwu dan sharf yang baik, yang mampu memahamkan dan mengantarkan peserta didiknya pada tingkat kemampuan memahami kitab dengan baik
Secara sederhana kerangka fikir materi ilmu qawaid yang sistematis dapat digambarkan sebagai berikut:
كلمة ¬ اعراب ¬ جملة
Materi-materi yang termasuk dalam kategori kalimah (kata) adalah materi yang merupakan prasyarat untuk masuk pada materi I’rab. Pembahasan materi-materi ini merupakan pembahasan yang mandiri, bukan merupakan pembahasan pengaruh atau hubungan antara kalimah yang satu yang biasa disebut sebagai amil dengan kalimah yang lain yang biasa disebut sebagai ma’mul . Materi-materi ini antara lain adalah:
a. Fiil, yang meliputi :
1). Madli, Mudlori’ dan Amar. Pembahasan klasifikasi fi’il ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar untuk pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. oleh sebab itu, pembahasannya selalu didahulukan dari pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. Secara umum pembahasan klasifikasi fi’il ini berkaitan dengan zaman yang dimiliki oleh sebuah kalimat fi’il.
2). Mujarrad dan Mazid. Pembahasan klasifikasi ini penting, karena akan memberikan informasi kepada kita bahwa huruf-huruf yang membentuk sebuah kalimat fi’il ada yang merupakan huruf asli (fa’ al-fi’li, ain al-fi’li dan lam al-fi’li) dan ada pula yang merupakan huruf ziyadah. Fi’il yang hanya dibentuk oleh huruf asli saja disebut dengan fi’il mujarrad yang sifat dasarnya adalah sama’iy, sedangkan fi’il yang dibentuk dari gabungan huruf asli dan huruf ziyadah disebut dengan fi’il mazid yang memiliki sifat dasar qiyasiy. Pembahasan klasifikasi fi’il mujarrad dan mazid ini selalu berkaitan dengan fawaid al-ma’na .
3). Shahih dan Mu’tal. Pembahasan materi ini penting karena akan memberikan informasi pada kita bahwa huruf yang membentuk lafadz-lafadz bahasa arab dapat menerima pembuangan, pergantian atau perubahan. Huruf yang membentuk sebuah lafadz tidak semuanya merupakan huruf asli. Ia dapat juga merupakan huruf pengganti dari huruf asli yang harus diganti atau dibuang karena alasan-alasan tertentu.
4). Ma’lum dan Majhul. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan fa’il dan naib fa’il. Sebuah kalimat yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il dapat ditentukan sebagai fa’il atau naib fail tergantung pada apakah fi’il yang jatuh sebelumnya beupa fi’il ma’lum atau fi’il majhul.
5). Lazim dan Mutaaddi. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan maf’ul bih. Sebuah jumlah fi’liyah yang dibentuk oleh sebuah fi’il terkadang harus dilengkapi oleh maf’ul bih, terkadang tidak. Hal ini tergantung pada apakah fi’il yang membentuk jumlah fi’liyah merupakan fi’il lazim ataukah fi’il mutaadi.
6). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan klasifikasi ini tidak ada sangkut pautnya dengan analisa teks. Pembahasan klasifikasi ini hanya berfungsi memberikan kesadaran dan informasi bahwa tidak semua harakat akhir dari sebuah kalimat fi’il dapat berubah ketika dimasuki ‘amil.
7). Dan lain-lain
b. Isim, yang meliputi :
1). Mufrad, Tatsniyah dan Jama’. Pembahasan ini secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
2). Mudzakkar dan Muannats. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut , hal, fa’il dan naib fa’il karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
3). Nakirah dan Ma'rifat. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan dasar bahwa mubtada’ harus berupa isim ma’rifat, na’at dan man’ut harus selalu muthabaqah dan hal harus selalu berupa isim nakirah.
4). Munsharif dan Ghairu Munsharif. Pembahasan ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan analisa teks atau murad, tetapi hanya merupakan penegasan bahwa tanwin yang merupakan tanda dari sebuah kalimat isim tidak dapat dipasangkan pada sebuah kalimat isim yang memenuhi persyaratan untuk ditentukan sebagai isim ghairu munsharif.
5). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan ini sebenarnya juga tidak ada kaitannya dengan analisa teks, atau murad, tetapi hanya merupakan bentuk penegasan bahwa harakat akhir dari sebuah kalimat isim tidak semuanya dapat ditundukkan dan dirubah oleh sebuah amil. Isim-isim yang termasuk dalam kategori mabni harakat akhirnya tetap dan tidak dapat dirubah oleh sebuah amil.
6). Isim Sifat. Pembahasan ini secara khusus barkaitan dengan pembahasan na’at-man’ut dan isim-isim yang dapat beramal sebagaimana fi’ilnya.
7). Manqush dan Maqshur. Pembahasan ini berkaitan dengan penegasan bahwa tidak semua isim mu’rab yang dimasuki amil, harakat akhirnya berubah secara lafdziy, akan tetapi juga ada yang berubah secara taqdiriy.
8). Masdar. Pembahasan ini berkaitan dengan pengamalan masdar
9). Dan lain-lain
c. Huruf
Pembahasan huruf untuk tahap awal cukup pengenalan jenis huruf dan pengaruhnya pada sebuah kalimat yang dimasukinya. Pembahasan huruf untuk tahap dasar tidak sampai pada pembagian kedalam klasifikasi huruf ashliy, zaid dan syabih bi al-zaid, atau tidak sampai pada pembahasan ma’aniy huruf al-jar, karena pembahasan semacam ini cukup banyak menyita perhatian dan pemikiran.
Sedangkan materi-materi yang termasuk dalam kategori I’rob adalah:
1) Anwa’ dan Alamat al-I’rob.
Pembahasan ini berfungsi memberikan informasi kepada peserta didik tentang istilah yang menunjukkan perubahan yang biasa dipakai dalam I’rab, mulai dari rafa’, nashab, jar dan jazem beserta tanda-tanda yang bervariasi yang menunjukkan perubahan I’rab tersebut. Dari materi inilah peserta didik akan memahami bahwa rafa’ tidak identik dengan dlammah, nashab tidak identik dengan fathah, jar tidak identik dengan kasrah dan jazem tidak identik dengan sukun. Masih ada tanda yang lain yang menunjukkan rafa’, nasab, jar dan jazem selain tanda-tanda yang disebutkan di atas.
2) Aqsam al-I’rab.
Pembahasan ini memberikan informasi kepada peserta didik bahwa perubahan hukum sebuah kalimat karena tuntutan sebuah amil, ada yang secara dhahir dapat dilihat (dhahiran atau lafdzan), ada pula perubahan yang secara dhahir tidak dapat dilihat, meskipun sebenarnya memiliki tanda I’rab , akan tetapi karena alasan-alasan tertentu, tanda I’rab tersebut tidak dapat dimunculkan ( taqdiran ) dan ada pula perubahan yang memang tidak memiliki tanda I’rab ( mahallan ) karena memang tanda I’rab tidak dapat masuk pada kalimat tersebut.
3) Marfuat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
4) Manshubat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
5) Majrurat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
6) Tawabi’.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian dan contoh.
Sementara yang dimaksud dengan jumlah dalam sistimatika kerangka fikir nahwu di atas adalah jumlah yang memiliki mahal I’rab ( laha mahallun min al-I’rab) dan yang tidak memiliki mahal I’rab ( la mahalla laha min al-I’rab
Materi tentang I’rab tidak boleh diajarkan sama sekali sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan dan difahami. Karena materi tentang kalimat merupakan materi prasyarat dari materi I’rab. Akan terjadi lompatan berfikir yang berdampak pada kebingungan dan keruwetan yang dialami peserta didik dalam menangkap dan memahami pelajaran ketika materi tentang I’rab diajarkan sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan.
Sebagai ilustrasi awal dapat dicontohkan sebagai berikut ; Materi tentang fail yang masuk dalam kawasan I’rab tidak mungkin dapat ditangkap dengan baik, apabila pemahaman peserta didik tentang konsep fiil ma’lum dan fiil majhul masih nihil, karena untuk bisa membedakan antara fail dan naib fail kemampuan tentang fiil ma’lum dan fiil majhul mutlak diperlukan. Materi tentang mubtada tidak bisa diajarkan dengan baik sebelum peserta didik memahami dengan baik konsep nakiroh dan ma’rifat, karena prinsip dasarnya, sebuah mubtada tidak boleh dibentuk kecuali dari isim ma’rifat .
Materi tentang na’at-man’ut tidak mungkin diajarkan sebelum peserta didik memahami konsep mufrad-tatsniyah-jama’, mudzakkar- muannats dan ma’rifat-nakiroh, karena antara na’at dan man’ut harus terjadi kesesuaian dalam aspek yang disebutkan terakhir .
Dan masih banyak contoh yang lain yang makin menegaskan bahwa materi-materi dalam ilmu qawaid harus diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, materi prasyarat dan materi inti.
Disamping harus sistematis, pengajaran materi qawaid juga harus didasarkan pada azaz manfaat. Seorang pengajar ilmu qawaid sebisa mungkin harus mengupayakan materi yang diajarkan dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh peserta didik . Materi-materi yang tidak membumi atau jarang muncul dalam teks-teks berbahasa arab sebisa mungkin pada tahap awal untuk ditinggalkan, karena peserta didik tidak dapat secara langsung merasakan manfaatnya yang pada akhirnya dapat berdampak pada kejenuhan, kebosanan dan bahkan ketidak sukaan terhadap materi-materi ilmu qawaid
Azaz manfaat ini menjadikan seorang tenaga pengajar harus mampu membaca realitas yang terdapat dalam teks-teks berbahasa arab. Maksudnya, materi-materi yang paling sering dijumpai dalam teks-teks berbahasa arab harus mendapatkan penekanan dan perhatian khusus, sehingga dikuasai dan difahami oleh peserta didik.
Seorang tenaga pengajar ilmu qawaid tidak boleh mengajarkan materi-materi yang ada sesuai dengan urut-urutan yang terdapat dalam kitab, karena sistematika pembahasan materi ilmu qawaid yang ditawarkan di dalam kitab-kitab klasik tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan peserta didik , akan tetapi didasarkan pada pertimbangan kesamaan dan kesejenisan. Sebagai contoh, untuk mengenal maf’ul bih misalnya, seorang peserta didik harus menunggu waktu yang cukup lama, karena harus menunggu terlebih dahulu penyelesaian secara keseluruhan semua bab yang termasuk dalam kategori marfu’at al-asma , padahal terbatasnya waktu yang tersedia menjadikan peserta didik sulit menghatamkan bab tersebut secara mendalam dan meyakinkan.
Kita dapat melihat sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab klasik secara umum, dimana pembahasannya selalu dimulai dari bab kalam, kemudian dilanjutkan dengan bab I’rab, marfuat al-asma, manshubat al-asma dan diakhiri dengan pembahasan majrurat al-asma’.
Untuk peserta didik yang memang sejak awal memiliki niat berlama-lama di pondok pesantren yang ini biasa terjadi di pesantren-pesantren salaf yang kurikulumnya memang sudah didesain demikian, sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab-kitab klasik bukan merupakan masalah. Akan tetapi, ketika dikaitkan dengan peserta didik yang kesempatan belajarnya dibatasi oleh waktu, yakni hanya beberapa semester saja dengan waktu tatap muka sangat minim dan semangat untuk menguasai materi juga minim, maka sistematika yang ditawarkan oleh kitab-kitab klasik dapat menjadi sebuah permasalahan, ketika harus diikuti dan diterapkan secara ketat.
Dalam konteks lembaga pendidikan formal yang lain, dimana controling dan monitoring terhadap target-target materi yang harus diajarkan sangat lemah, bisa jadi pengajaran kitab-kitab qawaid yang ada hanya bersifat formalitas dan tidak pernah dikaji secara tuntas dan serius. Sering kita dengar keluhan dari para peserta didik tentang fakta yang ada, dimana kitab jurumiyah yang sedang dikaji dan masih sampai pada bab mubtada’ terpaksa pengajian harus dihentikan dan kemudian diganti kitab lain, karena waktu yang tersedia sudah habis dan masuk tahun ajaran baru. Demikian pula halnya nasib pengajian kitab I’mrithy, mutammimah dan bahkan alfiyah.
Realitas di atas menjadikan kita berkesimpulan bahwa pemahaman ilmu qawaid yang mungkin dimiliki oleh para peserta didik “paling banter” hanya sampai pada tingkatan marfuat al-asma’, sedangkan pemahaman tentang manshubat dan majrurat tidak pernah mereka miliki, karena memang tidak mendapatkan porsi pembahasan yang memadai, akibat dari porsi jam yang tersedia sangat terbatas dan alur pengajaran yang mengikuti sistematika yang dikembangkan di dalam kitab-kitab qawaid klasik.
Lembaga pendidikan yang menjadikan kitab-kitab nahwu klasik sebagai acuan dalam pembelajaran ilmu qawaid harus memback-up materi-materi tersebut dengan materi qawaid yang lain yang sistematikanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam menganalisa teks-teks berbahasa arab. Dalam kaitannya dengan ini menjadi penting materi “aplikasi qawaid”.
Disamping sistematis dan azaz manfaat, seorang pengajar ilmu nahwu harus menggunakan azaz kepedulian. Yang dimaksud dengan azaz kepedulian adalah seorang guru dalam mengajar ilmu qawaid harus selalu peduli pada penguasaan peserta didik terhadap materi-materi yang pernah diajarkan, dari materi yang pertama sampai yang terakhir. Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa semua materi ilmu qawaid pada dasarnya merupakan sesuatu yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketidakpahaman peserta didik terhadap satu materi ilmu qawaid akan sangat mengganggu kemampuan dan akurasinya dalam menganalisa dan memahami kitab kuning.
Meskipun peserta didik adalah subyek, akan tetapi eksistensi dan keberhasilannya sangat tergantung pada seorang tenaga pengajar. Maksudnya apakah peserta didik akan selalu mencoba dan berusaha untuk menguasai pelajaran, tergantung pada apakah seorang tenaga pengajar selalu peduli dan mengontrol secara serius dan berkelanjutan setiap materi yang pernah diajarkan. Selama tenaga pengajar tidak peduli dan tidak pernah mengontrol kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, selama itu pula sebenarnya tenaga pengajar sudah gagal dalam mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik. Realitas seorang peserta didik terpaksa harus melupakan materi yang pernah dipahami dan dikuasainya sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakpedulian seorang tenaga pengajar dalam mengontrol kemampuan peserta didiknya.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, seorang tenaga pengajar ilmu qawaid perlu menetapkan waktu satu hari dalam satu minggu misalnya, untuk dijadikan sebagai waktu evaluasi yang berfungsi memaksa peserta didik untuk selalu mempertahankan hafalan, pemahaman dan penguasaannya terhadap materi ilmu qawaid yang pernah diajarkan.
2. Unsur Mufradat.
Mufradat memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk dapat memahami kitab kuning. Bagaimanapun baiknya pemahaman qawaid peserta didik tanpa didukung oleh koleksi hafalan mufradat yang memadai, akan tetap mengalami kesulitan dalam memahami kitab kuning.
Sebuah lembaga pendidikan yang menetapkan fahmu al-kutub sebagai tujuan, harus memiliki program pembekalan mufradat kepada para peserta didiknya , disamping pembekalan ilmu qawaid. Pembekalan mufradat inilah yang sering dilupakan dan tidak pernah dikontrol secara ketat, utamanya hal ini terjadi di lembaga pendidikan formal.
Banyak sekali strategi yang dapat dilakukan untuk dapat memaksa peserta didik selalu menghafalkan mufradat yang dibutuhkannya, baik itu melalui jalan formal, yakni menjadikan mahfudhot sebagai materi pelajaran, atau melalui jalan yang tidak formal, misalnya ada komitmen yang secara konsisten selalu dipertahankan dari semua jajaran tenaga pengajar untuk selalu meminta para peserta didik secara acak membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan (bukan kitabnya sendiri yang sudah diberi harakat dan arti), sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai.
Dalam konteks Lembaga formal, perlu ada kebijakan berani dari pihak pimpinan untuk dapat menyelesaikan masalah ini, ketika kemampuan membaca kitab memang merupakan salah tujuan pembelajaran di Lembaga formal.
Kebijakan berani dimaksud misalnya adalah mewajibkan para dosen yang membina mata kuliah keagamaan untuk menggunkan referensi yang berbahasa arab sebagai sumber utamanya dan melarang keras penggunaan referensi terjemahan sebagai referensi utama. Demikian juga halnya dengan para dosen pembina mata kuliah keagamaan. Mereka harus secara kompak mendorong dan bahkan harus mewajibkan seluruh mahasiswa yang ada dalam bimbingannya untuk menggunakan sumber primer yang berbahasa Arab.
Realitas mengatakan bahwa mahasiswa yang menjadi peserta didik kita cukup minim koleksi mufradatnya. Kita hampir yakin bahwa mayoritas mahasiswa yang menjadi peserta didik kita tidak mampu membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan. Realitas semacam ini memang merupakan sesuatu yang wajar, karena tidak ada upaya yang sistematis yang dilakukan oleh tenaga pengajar untuk mengikat mufradat yang pernah diajarkan, sehingga tidak lepas dan dilupakan begitu saja oleh para peserta didik, bahkan yang lebih tragis lagi , mahasiswa kita sudah merasa puas dan tidak merasa bersalah, ketika mereka menggunakan referensi terjemahan.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada sebuah kesimpulan bahwa kepedulian tenaga pengajar untuk secara sistematis membekali dan menambah mufradat para peserta didik dan sekaligus mengikatnya dengan menggunakan tekhnik dan strategi tertentu, sehingga mufradat-mufradat yang pernah diajarkan tidak begitu saja dilupakan, merupakan point penting dan cukup signifikan dalam memperbanyak koleksi mufradat para peserta didik. Kelalaian tenaga pengajar dalam mengikat mufradat yang pernah diajarkan merupakan awal kegagalan seorang peserta didik dalam mempertahankan mufradat yang sudah dikenal, atau bahkan dihafalnya.
3. Unsur Tathbiq
Problem utama yang dihadapi peserta didik dalam balajar qawaid, baik nahwu atau sharf bukan terletak pada bagaimana menghafal teori-teori ilmu nahwu dan sharf yang ada, tetapi terletak pada bagaimana menerapkan teori qawaid yang ada pada mufradat yang sudah dihafal. Secara teoritis ketika ditanya tentang bab-bab qawaid tertentu, rata-rata para peserta didik mampu menjawabnya dengan baik. Namun demikian, ketika mereka diminta untuk mengaplikasikan teoari qawaid dengan menganalisa teks yang belum pernah dibacakan sama sekali, rata-rata dari mereka merasa kesulitan dan pada akhirnya macet dan menyerah.
Yang dimaksud dengan tathbiq adalah penerapan qawaid yang sudah dikuasai oleh peserta didik pada mufradat yang sudah dihafal dengan menggunakan sarana teks-teks berbahasa arab. Tathbiq ini membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena realitasnya karakter dari teks-teks berbahasa arab adalah tertulis dengan tanpa harakat, sehingga alternatif bacaan yang dapat diberikan pada setiap kalimat yang terdapat dalam teks tersebut juga sangat banyak.
Untuk memperjelas permasalahan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; Lafadz من pada dasarnya dapat dibaca من dengan dibaca kasrah mimnya, juga dapat dibacaمن dengan dibaca fathah mimnya dan juga dapat dibaca من dengan dibaca fathah mimnya dan ditasydid nunnya. Kemampuan tertinggi dalam ilmu nahwu justru terletak pada kemampuan santri untuk memberikan alternatif bacaan yang banyak untuk satu kata dan kemudian memilih satu alternatif pilihan dari alternatif-alternatif yang ada dengan benar, tepat dan akurat.
Tathbiq al-qawaid membutuhkan materi pelajaran khusus yang mungkin dapat disebut dengan aplikasi qawa’id. Dalam aplikasi qawaid materi yang dibahas bukan lagi mengenai materi-materi khusus, seperti bab fail, mubtada dan seterusnya. Yang dibahas dalam aplikasi qawaid adalah materi lintas bab. Materi yang dibahas dalam aplikasi qawaid selalu berangkat dari realitas yang terdapat di dalam teks, sehingga secara tekhnis terlebih dahulu seorang tenaga pengajar menuliskan teks yang dipilih atau menentukan bacaac tertentu yang terdapat didalam sebuah kitab yang sudah dimiliki oleh pesereta didik, kemudian peserta didik diminta untuk menganalisa sesuai dengan kemampuan qawaid yang sudah diberikan.
Setelah waktu yang diberikan sudah habis, seorang tenaga pengajar harus mempertanyakan hasil analisa peserta didik baik menyangkut I’rab, tasrifan, ma’na dan murad dari teks yang ditulis oleh sang tenaga pengajar . Setelah itu, baru tenaga pengajar mengambil alih penuh waktu yang ada dan memanfaatkannya untuk menjelentrekkan logika-logika analisa teks, dengan sebuah harapan seorang peserta didik mampu merekam logika-logika yang dikembangkan sang tenaga pengajar dan pada akhirnya mampu menirukan logika-logika tersebut pada teks-teks berbahasa arab yang lain.
Tentu saja, seorang tenaga pengajar yang dapat memegang materi aplikasi qawaid hanyalah terbatas pada tenaga pengajar yang kemampuan qawaidnya cukup luas, karena dia harus mampu menjelaskan dengan baik setiap lafadz yang terdapat dalam teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar