Sabtu, 04 Juni 2011

metode pemelajaran ilmu nahwu shorof

PEMBELAJARAN ILMU SHARF


I. Pendahuluan
Kemampuan memahami kitab merupakan kemampuan penting dan cukup mendasar untuk seorang calon intelektual muslim. Hal ini didasarkan pada sebuah realitas bahwa untuk mengkaji, membahas dan meneliti sebuah topik tertentu yang berhubungan dengan kajian keislaman, sumber pokok yang yang harus dijadikan sebagai pegangan adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang tertulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Untuk sampai pada kemampuan memahami kitab dengan baik, dibutuhkan beberapa unsur yang tidak boleh tidak harus dikuasai. Unsur dimaksud adalah unsur qawaid, unsur mufradat dan unsur tathbiq.
Qawaid secara umum diklasifikasikan menjadi dua; qawaid al-nahwi dan qawaid al-sharfi. Qawaid al-nahwi bertugas menganalisis kedudukan sebuah kalimat dalam sebuah jumlah. Hal ini berarti berkaitan dengan pengaruh kalimat yang satu (amil) terhadap kalimat yang lain (ma’mul) . Sementara qawaid al sharfi bertugas untuk menganalisis jenis-jenis kalimat (sighat) yang merangkai sebuah jumlah .
Peranan dan signifikansi ilmu sharaf dalam rangka memahami kitab sangat penting dan cukup menentukan. Seseorang cukup sulit untuk dapat dianggap sebagai orang yang ahli dan mampu memahami kitab, ketika dia masih belum mampu membedakan dengan baik kalimat-kalimat bahasa arab yang sedang dihadapinya, apakah termasuk dalam kategori fi’il madli, fi’il mudlari’, masdar, isim fa’il, isim maf’ul dan seterusnya. Kemampuan semacam ini ditawarkan dalam ilmu sharaf.
Dari penjelasan di atas, maka menjadi penting untuk memikirkan dan mencari terobosan tentang bagaimana mengajarkan ilmu sharaf kepada peserta didik secara efektif dan efisien, sehingga pada akhirnya kemampuan ilmu sharaf yang dibutuhkan dapat dimiliki oleh peserta didik secara cepat. Makalah ini mencoba mengurai dan menjelaskan point-point penting dalam pengajaran ilmu sharaf, sebagai upaya mencari terobosan dalam mentransfer kemampuan ilmu sharaf kepada peserta didik secara cepat.

II. Tujuan Pengajaran Ilmu Sharaf.
Untuk menentukan dan memastikan langkah apa dan metode efektif yang bagaimana yang dapat ditawarkan sebagai upaya mencari terobosan dalam pengajaran ilmu sharaf, maka sebagai langkah awal yang harus dirumuskan dan ditentukan terlebih dahulu adalah tujuan pengajaran ilmu sharaf. Hal ini penting untuk dilakukan karena ketidakjelasan tentang tujuan yang akan dicapai dapat berdampak pada kekurangfokusan dan bahkan kekaburan format metode yang akan ditawarkan.
Kemampun mentasrif fi’il baik secara istilahi maupun lughawi harus dianggap sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf yang harus mendapatkan prioritas, karena dengan kemampuan ini seorang peserta didik akan mampu mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada al-ashlu al-wahidnya, atau sebaliknya; akan mampu membuka kamus dan akan mampu memahami dengan baik karakter masing-masing bina’ yang antara yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Sebenarnya peran dan fungsi ilmu sharaf secara umum adalah membantu peserta didik dalam menentukan masing-masing sighat (jenis kata) dari kalimat-kalimat yang merangkai sebuah teks bahasa arab. Apakah kalimat yang sedang dihadapi termasuk dalam kategori fi’il madli, fi’il mudlari’, fi’il amar, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, isim zaman atau isim makan. Masing-masing sighat tersebut harus mampu dipahami dengan baik oleh peserta didik, karena secara langsung memiliki korelasi dengan arti sebuah kalimat. Ketidak mampuan peserta didik dalam memahami dan menentukan sighat akan berdampak pada kemampuan peserta didik dalam menganalisa dan memahami sebuah teks.
Pemahaman tentang fawaid al-ma’na dari wazan-wazan yang ada juga harus dipandang sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf, karena banyaknya wazan yang ada, baik dari fi’il mujarrad, maupun dari fi’il mazid bukan untuk memberikan variasi bacaan, akan tetapi untuk tujuan faidah arti.

III. Bagaimana Metode Mengajarkannya ?
Setelah mengetahui secara umum bahwa tujuan pembelajaran ilmu sharaf adalah ; 1) Agar peserta didik mampu mentasrif fi’il, baik secara istilahi, maupun secara lughawi. 2) Agar peserta didik dapat memahami dan menentukan sighat (jenis kata). 3) Agar peserta didik mampu memahami faidah arti, maka selanjutnya perlu dipikirkan bagaimana metode mengajarkannya secara efektif dan efisien.
A. Metode Mengajar Tasrif Istilahi dan Lughawi
1. Metode Mengajar Tasrif Istilahi.
Tasrif istilahi adalah perubahan bentuk kalimat dari al-ashlu al-wahid menjadi al-amtsilah al-muhktalifah karena tujuan arti yang dikehendaki. Bentuk penulisan tashrif ini menyamping, dimulai dari penulisan bentuk madli dan diakhiri dengan penulisan bentuk isim alat. Dari tashrif ini, peserta didik akan mengenal berbagai sighat yang tedapat di dalam bahasa arab.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajaran tashrif istilahi untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik, diantaranya adalah stressing hafalan, konsep tentang wazan dan latihan (drill)

a. Stressing Hafalan.
Kemampuan mentashrif sebuah kalimat dalam bahasa arab lebih banyak berkaitan dengan hafalan terhadap wazan-wazan yang ada. Hafalan terhadap wazan-wazan yang ada berkaitan erat dengan frekwensi mendengar dan mengucap wazan-wazan yang ada. Karena pertimbangan ini, maka menjadi penting menciptakan sebuah tradisi membaca secara bersama-sama wazan-wazan yang ada 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Berkaitan dengan stressing hafalan, hal ini harus diorientasikan pada sedapat mungkin hafalan tashrifan yang dicapai peserta didik dapat bermanfaat secara maksimal pada kemampuan peserta didik dalam mentashrif mauzun-mauzun yang lain, sehingga hal ini sangat terkait dengan konsep fiil mujarrad dan fiil mazid yang memiliki karakter yang berbeda dalam kaitannya dengan tashrifan fi’il istilahiy.
Di banyak pesantren, hafalan tashrif fiil mujarrad mulai dari bab satu sampai bab enam cukup mendapatkan penekanan, padahal sifat dasar dari fiil mujarrad ini adalah sama’iy. Maksudnya, untuk menentukan bagaimana bacaan bentuk madlinya, apakah ain fiilnya harus difathah, dikasrah atau didlammah, juga bagaimana bentuk mudlari’nya, apakah ain fi’ilnya difathah, dikasrah atau didlammah, juga bagaimana bacaan bentuk masdarnya dan sighat-sighat yang lain, semuanya harus dilihat terlebih dahulu didalam kamus, atau mendengar langsung dari orang arab.
Dampak dari sifat dasar fiil mujarrad yang samaiy ini adalah wazan-wazan yang sudah dihafal oleh peserta didik tidak begitu banyak berperan dan bermanfaat bagi peserta didik untuk dapat mentashrif mauzun-mauzun yang lain yang baru sama sekali, tidak sebanding antara usaha, upaya dan waktu yang sudah dihabiskan oleh peserta didik dengan manfaat yang dirasakannya.
Mungkin pertimbangan yang mendasari kebijakan banyak pesantren dalam memberikan penekanan dan pembebanan kepada para santrinya untuk menghafalkan tashrifan fiil mujarrad, meskipun sifat dasarnya adalah samaiy adalah realitas bahwa fiil mujarrad merupakan dasar dari fiil mazid dan letaknya yang ditulis terlebih dahulu mendahului fiil mazid.
Realitas mengatakan bahwa meskipun seseorang mampu menghafal dengan baik tashrif fiil mujarrad dari bab I sampai bab VI, ia tetap akan mengalami kesulitan untuk menentukan bagaimana bacaan ain fiil dalam fiil madli dan mudlari’, serta bagaimana bacaan sighat-sighat selanjutnya, ketika ia menjumpai fiil yang sama sekali baru. Hal ini tidak hanya terjadi pada peserta didik yang baru saja mengenal ilmu sharaf, akan tetapi juga terjadi pada seorang kyai sekalipun.
Realitas semacam ini menjadikan kita harus berani merubah stressing hafalan dalam pengajaran tashrifan istilahiy, dari stressing pada fiil mujarrad menjadi stressing pada fiil mazid. Fiil mujarrad tetap harus diajarkan tentang seluk-beluknya bukan bertujuan untuk dihafalkan, akan tetapi dijadikan sebagai dasar untuk masuk pada pembahasan fiil mazid yang harus mendapatkan penekanan dari sisi hafalannya.
Fiil mazid harus mendapatkan stressing hafalan, karena ia bersifat qiyasiy. Maksudnya, seorang peserta didik ketika hafal wazan-wazan fiil mazid yang ada, maka ia secara langsung akan mampu mentashrif mauzun-mauzun yang ada. Hal ini menjadikan peserta didik mampu merasakan manfaat dari hafalan yang sudah dicapai, sehingga pada gilirannya motivasi dan semangat belajarnya dapat meningkat.



b. Konsep Tentang Wazan.
Dalam konsep aslinya, wazan selalu dibatasi pada sebuah rangkaian huruf yang terdiri dari fa’, ain’ dan lam ( فعل ) . Wazan yang berfungsi sebagai patokan diharapkan mampu menjembatani seseorang untuk mentashrif mauzun-mauzun yang ada. Pembatasan wazan hanya pada rangkaian huruf fa’, a’in dan lam saja realitasnya tidak begitu banyak membantu peserta didik untuk mampu mentashrif semua mauzun yang ada dari berbagai bina’. Hal inilah yang pada akhirnya memaksa kita untuk berani merubah konsep wazan, sehingga pada akhirnya wazan benar-benar memiliki fungsi sebagai patokan dalam mentashrif mauzun-mauzun yang ada.
Konsep wazan harus mewakili bina’-bina’ yang ada. Mulai dari bina’ yang tergabung dalam kategori fi’il shahih, yaitu salim, mudla’af, mahmuz atau yang tergabung dalam kategori fiil mu’tal yaitu mitsal, ajwaf, naqish dan lafif . Hal ini didasarkan pada sebuah realitas bahwa seseorang yang mampu menghafal wazan dari bina’ salim, maka ia akan mampu menjadikannya sebagai patokan untuk mauzun yang salim juga. Ia akan merasa kesulitan untuk mentashrif mauzun dari bina selain bina’ salim, demikiam juga seterusnya.
Dari uraian di atas dapat dibuat gambaran tentang wazan sebagai berikut :







الوزن الموزون
فعل حدث علم قرب نعم سخن قلم ملك فكر جنب
افعل احدث اعلم اقرب انعم اسخن اقلم املك افكر اجنب
فاعل حادث عالم قارب ناعم ساخن قالم مالك فاكر جانب
تفاعل تحادث تعالم تقارب تناعم تساخن تقالم تمالك تفاكر تجانب
تفعل تحدث تعلم• تقرب تنعم تسخن تقلم تملك تفكر تجنب
افتعل احتدث اعتلم اقترب انتعم استخن اقتلم امتلك افتكر اجتنب
انفعل انحدث انعلم انقرب انعم انسخن انقلم انملك انفكر انجنب
افعل احدث اعلم اقرب انعم اسخن اقلم املك افكر اجنب
استفعل استخبر استعلم استقرب استنعم استسخن استقلم استملك استفكر استجنب
وكل وبش وبق وتر وتد وثف وثق وجع وذر ورد
زكى لقى ربى رقى سمى نمى لبى صلى نعى جلى
ولى وفى ورى وعى وصى وخى وقى ونى ودى وثى
ماس ماد مار جال خاف راق قار حال عال بال
عاطى نافى نادى لاقى رامى بالى راعى ساقى لامى ناعى
امد اجل اعل احس احل ارق الم اشل اعد اخف
اوعد اوبش اوبق اوتر اوتد اوثف اوثق اوجع اوذر اورد
ايسر ايأس ايبس ايتم ايرع ايسن ايقن ايمن اينع ايقظ
اجاب افاد احال اشار افاض اضاف امات ادام اقال انام
اعطى القى اربى ارقى اسمى انمى البى اصلى انعى اجلى
اودى اوفى اورى اوعى اوصى اوخى اوقى اونى اولى اوثى
تماس تماد تمار تجال تخاف تراق تقار تحال تعال تبال
تعاطى تنافى تنادى تلاقى ترامى تبالى تراعى تساقى تلامى تناعى
تعدى تلقى تربى ترقى تسمى تنمى تلبى تصلى تنعى تجلى
امتد اجتل اعتل احتس احتل ارتق التم اشتل اعتد اختف
اعتاد احتاج احتال استاك احتاط افتاد اختار اقتات امتات افتاق
انفض انجل انعل انحس انحل انرق انلم انشل انعد انخف
انجلى انعدى انبرى انحرى انبلى انرقى انلبى انسلى انلقى انربى
استمد استقر استحل استجل استخف استلم استبل استمر استلب استحم
استوثق استوبش استوبق استوتر استوتد استوثف استوعد استوجع استوذر استورد
استجاب استفاد استحال استشار استفاض استضاف استمات استدام استقال استنام
استوفى استولى استورى استوعى استوصى استوخى استوقى استونى استوبى استوثى

Masing-masing wazan di atas disusun berdasarkan bina’-bina yang ada, sehingga apabila peserta didik menghafal dan menguasainya, secara otomatis ia akan mampu mentashrif mauzun-mauzun yang ada dari berbagai bina’.

c. Latihan ( Drill )
Kemampuan mentashrif fi’il realitasnya merupakan kemampuan yang banyak berhubungan dengan skill (ketrampilan), bukan kemampuan yang murni berhubungan dengan kecerdasan seseorang. Karena demikian, maka upaya yang harus selalu dilakukan adalah melatih ketrampilan peserta didik dengan frekwensi yang cukup banyak.
Ada beberapa tahapan yang secara sistimatis akan mampu memberikan kemudahan bagi peseta didik dalam mencapai kemampuan mentashrif fi’il dengan baik. Tahapan-tahapan dimaksud adalah pembiasaan ( تعويد ), hafalan (تحفيظ) dan latihan (تدريب ).
Pembiasaan ( تعويد ) harus dilakukan sejak awal, dimana peserta didik baru pertama kali mengenal tashrif dengan cara mewajibkan peserta didik untuk bersama-sama membaca wazan-wazan yang sudah ditentukan setiap kali pelajaran akan dimulai. Hal ini harus terus dilakukan sampai pada sebuah tahapan dimana lidah peserta didik terbiasa, tidak kaku dan dapat lancar melafadzkan tashrifan wazan yang sudah ditentukan.
Waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada sebuah tahapan dimana peserta didik terbiasa, tidak kaku dan lancar dalam melafadzkan wazan-wazan yang sudah ditentukan sangat tergantung pada frekwensi latihan. Ketika membaca bersama-sama dilakukan tiga kali atau lebih dalam satu hari misalnya, maka kemampuan lancar membaca dan melafadzkan wazan akan cepat dicapai.
Setelah peserta didik sudah terbiasa membaca dan melafadzkan wazan-wazan yang sudah ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah membebani peserta didik untuk menghafalkan (تحفيظ) wazan-wazan tersebut secara bertahap sambil terus mempertahankan tradisi membaca bersama-sama sebelum pelajaran dimulai.
Pada tahapan ini yang paling berperan adalah perhatian dan konsistensi seorang tenaga pengajar. Ketika perhatian dan konsistensi seorang tenaga pengajar sangat rendah dalam mengawasi peserta didik untuk sampai pada tahapan ini, maka pada saat yang sama perhatian dan konsistensi peserta didik juga cukup rendah, sehingga pada gilirannya target dan tujuan yang sudah ditetapkan menjadi sulit untuk dicapai.
Setelah wazan-wazan yang ada sudah dihafal, maka tahapan selanjutnya yang harus dilalui oleh peserta didik adalah latihan ( تدريب ). Ada dua tahapan yang dilakukan oleh seorang tenaga pengajar dalam melatih peserta didik; yang pertama adalah melatih peserta didik untuk mentashrif mauzun dengan dimulai dari al-ashlu al-wahid ( تدريب تصريف الاصل الواحد الى الامثلة المختلفة ), yang kedua adalah melatih peserta didik untuk mampu mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada bentuk al-ashlu al-wahid ( تدريب رد الامثلة المختلفة الى الاصل الواحد ).
Untuk melatih kemampuan tahapan yang pertama, kolom tentang wazan dan mauzun di atas dapat dijadikan sebagai pegangan oleh tenaga pengajar, sedangkan untuk melatih kemampuan tahapan yang kedua dapat dibuat contoh panduan sebagai berikut :






النمرة ١ ٢ ٣ ٤ ٥ ٦ ٧ ٨ ٩
١ تبيين مبين محال نداء تسمية اعلال مستغرق تعرض مفت
٢ استطاعة تربية منزل تحديد متم مفطر افادة مختلف متسع
٣ ابتعاد تطور تدوين اجلال مقدم اختيار محتال مستقل استقلال
٤ جهاد ظهار لعان تشعب تذكية مضح تأخير تضحية مستقر
٥ مميت مستحب ترتيب مسلم متعمد متفاوت مشتر مكره اطعام
٦ متبايع مشاهدة مصنف منفرد افتراش اقتداء تشهد مشكل مسافر
٧ منافاة ملاقاة مناف استيطان مختص منفك مستمر اغاثة مشير
٨ مضاف انقضاء استهلال مستعمل استغفار تعميم انتهاء مرتد استحقاق
٩ مستعار تقابض منعقد استيفاء تصرف مريد مراد ابراء اخراج
١٠ اتفاق مدرك استثناء توكيل ملتقط مجتمع ايصال ايصاء مغمى
١١ ايقاظ مسوف اقامة مراع تسويف اهداء تشمير متبادر استعداد
١٢ تفكر متوقع معاينة ابقاء مؤثر موفق اجتناب تأمل منفك
١٣ مفرق تردد ايمان مقتضى تفطن مستكثر متكاسل متعلل لقاء
١٤ تصلية مكفر متحمل انتظار اسقاط تتخلف تتحرى تجتهد اسباغ
١٥ احتياج يتخطى مهم تسوية تحريض متقدم ملازمة تفرغ اختلال
١٦ مقتصر محافظة مفصل مخاطب اشتغال ملم اخراج تخريف تخفيف
١٧ تطوع ممطر تسعير توحيد اباحة مبيح معتزل افتاء مصلح
Yang perlu ditanyakan oleh seorang tenaga pengajar kepada peserta didik dalam melatih kemampuan peserta didik untuk mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada al-ashlu al-wahid adalah seputar harus dilafadzkan bagaimana kalimat-kalimat yang terdapat didalam kolom, sighatnya apa dan berasal dari bentuk madli apa.

2. Metode Mengajar Tashrif Lughawi.
Tasrif lughawiy adalah sebuah bentuk tasrif fi’il tertentu dengan cara mengisnadkannya kepada dlamir baik mutakallaim, mukhatab atau ghaib. Dalam tasrif lughawiy tidak terjadi perubahan sighat sebagaimana yang terjadi dalam tasrif istilahiy.
Tasrif lughawiy biasanya ditulis memanjang dari atas ke bawah dimulai dari penggabungan dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) pada fi’il yang sedang ditasrif dan diakhiri dengan penggabungan dlamir mutakallim ma’a al-ghairi (نحن )
Secara umum tidak terdapat perbedaan karakter antara fi’il mujarrad dengan fi’il mazid dalam tasrif lughawiy, sehingga pengajaran tasrif lughawiy tidak berangkat dari konsep mujarrad dan mazid, sebagaimana yang terjadi dalam pengajaran tasrif istilahiy. Pintu masuk pengajaran tasrif lughawiy harus melalui konsep bina’ yang realitasnya antara bina’ yang satu dengan bina’ yang lain terjadi perbedaan hukum ketika diisnadkan kepada dlamir-dlamir tertentu. Perbedaan hukum inilah yang harus diperhatikan dan ditekankan dalam pengajaran tasrif lughawiy kepada peserta didik .
Sebagai gambaran dalam mencari perbedaan dan permasalahan yang terjadi dalam bina’-bina’ yang ada yang harus diperhatikan oleh seorang tenaga pengajar dalam pengajaran tasrif lughawiy kepada peserta didik, dapat diperhatikan contoh-contoh berikut ini :

الضمائر الابنية
الصحيح المعتل
سالم مضاعف مهموز مثال اجوف ناقص لفيف
هو فتح مد أمل وعد صام باع غزا رمى رضي سوى
هما فتحا مدا أملا وعدا صاما باعا غزوا رميا رضيا سويا
هم فتحوا مدوا أملوا وعدوا صاموا باعوا غزوا رموا رضوا سووا
هي فتحت مدت أملت وعدت صامت باعت غزت رمت رضيت سوت
هما فتحتا مدتا أملتا وعدتا صامتا باعتا غزتا رمتا رضيتا سوتا
هن فتحن مددن أملن وعدن صمن بعن غزون رمين رضين سوين
انت فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
انتما فتحتما مددتما أملتما وعدتما صمتما بعتما غزوتما رميتما رضيتما سويتما
انتم فتحتم مددتم أملتم وعدتم صمتم بعتم غزوتم رميتم رضيتم سويتم
انت فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
انتما فتحتما مددتما أملتما وعدتما صمتما بعتما غزوتما رميتما رضيتما سويتما
انتن فتحتن مددتن أملتن وعدتن صمتن بعتن غزوتن رميتن رضيتن سويتن
انا فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
نحن فتحنا مددنا أملنا وعدنا صمنا بعنا غزونا رمينا رضينا سوينا

Dari contoh-contoh di atas yang mewakili bina’-bina’ yang ada ( perhatikan tulisan yang dicetak miring dan tebal dalam kolom-kolom di atas !), sebagai strategi pengajaran tasrif lughawy dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut sebagai berikut :
 Untuk bina’ salim, pengisnadan fi’il kepada dlamir mulai dari dlamir mufrad mudzakkar gha’ib ( هو ) sampai dlamir mutakallim ma’a al-ghairi ( نحن )tidak terjadi permasalahan dan perbedaan hukum , sehingga tidak ada yang perlu ditekankan oleh seorang tenaga pengajar dalam mengajar tasrif lughawiy bina’ ini. Seorang guru perlu menginformasikan realitas bahwa tidak terjadinya permasalahan dan perbedaan hukum ini kepada peserta didik, sehingga diharapkan ada kesadaran dan pemahaman dari peserta didik tentang bagaimana mentasrif lughawiy bina salim dan pada gilirannya ia akan mampu mentasrif lughawiy mauzun-mauzun yang sebina’ dengan wazan ini.
 Untuk bina’ mudla’af, pengisnadan fi’il kepada dlamir terdapat perbedaan hukum, yaitu antara kewajiban mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua dengan ketidakbolehan mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua. Kewajiban mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua terjadi mulai dari ketika fi’il tersebut diisnadkan kepada dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) sampai pada dlamir tastniyah muannats ghaib ( هما ). Setelah fi’il mudla’af ini diisnadkan kepada dlamir jama’ muannats gha’ib dan selanjutnya sampai yang terakhir, dimana dlamir ini termasuk dalam kategori dlamir mutaharrik rafi’, maka pengidghaman tidak diperbolehkan lagi, sehingga yang terjadi adalah fakk atau melepas, mengurai dan menulis dua huruf sejenis yang terdapat dalam urutan a’in fi’il dan lam fi’il. Realitas semacam ini harus diinformasikan oleh tenaga pengajar kepada peserta didik, sehingga pada gilirannya diharapkan peserta didik akan mampu mentasrif lughawiy mauzun-mauzun bina’ mudla’af dengan baik. Untuk peserta didik yang sudah mampu berlogika,seorang tenaga pengajar harus menjelaskan bentuk rasionalisasi dari mengapa harus terjadi pengidghaman dan mengapa pula tidak boleh ada pengidghaman.
 Untuk bina’ mahmuz dan mitsal cara pentasrifannya sama persis dengan bina’ salim, tidak terjadi keanehan dan perbedaan hukum mulai dari pengisnadan fi’il pada dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) sampai dlamir mutakallim ma’a al-ghairi ( نحن ), sehingga realitas yang terjadi pada bina’ salim dapat dijadikan pegangan dalam mentasrif mauzun yang berasal dari bina’ mahmuz dan mitsal.
 Untuk bina ajwaf, terdapat permasalahan atau perbedaan hukum yang harus diperhatikan oleh seorang tenaga pengajar dan diinformasikan kepada peserta didik beserta bagaimana cara menyelesaikannya. Permasalahan atau perbedaan hukum tersebut terletak pada saat fi’il bertemu dengan dlamir rafa’ mutaharrik ( mulai dari dlamir هن sampai dlamir ( نحن. Permasalahan dan perbedaan hukum menyangkut harakat fa’ fi’il yang memiliki dua alternatif bacaan, yaitu dibaca dlammah atau dibaca kasrah. Seorang tenaga pengajar harus memberikan penegasan bahwa fa’ fi’il dalam fi’il ajwaf harus dibaca dlammah ketika fi’il ajwaf tersebut mengikuti wazan يفعل dengan dibaca dlammah ain fi’ilnya dalam fi’il mudlari’nya, sedangkan apabila mengikuti wazan selain يفعل , maka fa’ fi’ilnya harus dibaca kasrah. Hukum semacam ini hanya berlaku untuk fi’il ajwaf yang termasuk dalam kategori mujarrad dan tidak berlaku untuk kawasan mazid.
 Bina’ naqish dan lafif memiliki permasalahan dan perbedaan hukum yang sama, yaitu :1. Ketika bertemu dengan alif tastniyah. Permasalahannya menyangkut pengembalian huruf ashliy dari lam fi’il ( waw atau ya’ ) yang pada awalnya harus diganti dengan alif karena alasan-alasan tertentu . Permasalahan ini terjadi pada fi’il naqish atau lafif yang mengikuti wazan فعل dengan dibaca fathah a’in fi’ilnya. Sedangkan untuk selain wazan فعل permasalahan ini tidak terjadi, karena sejak awal huruf asli dari lam fi’il ditulis apa adanya dan tidak mengalami pergantian. Ada dua cara yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk memastikan bahwa huruf asli dari lam fi’il berupa waw atau ya’, yang pertama adalah berkaitan dengan bagaimana penulisan alif pengganti yang terdapat dalam lam fi’il, apakah ditulis tegak atau ditulis bengkok. Ketika alif ditulis tegak, maka huruf asli yang harus muncul pada saat bertemu dengan alif tatsniyah adalah berupa waw, sedangkan apabila alif ditulis bengkok, maka huruf asli yang muncul pada saat bertemu dengan alif tatsniyah adalah ya’. Yang kedua berkaitan dengan bagaimana bentuk masdarnya harus dilafadzkan, karena huruf asli akan muncul dalam bentuk masdarnya. Ketika yang muncul dalam bentuk masdarnya adalah waw, maka yang harus dimunculkan ketika bertemu dengan alif tatsniyah adalah waw. Sedangkan apabila yang muncul dalam bentuk masdarnya adalah ya’, maka yang harus dimunculkan ketika bertemu dengan alif tatsniyah adalah ya’ juga. 2. Ketika bertemu dengan waw jama’. Permasalahan yang muncul berkaiatan dengan harakat dari a’in fi’il, apakah harus dibaca dlammah atau dibaca fathah. Hal yang harus dijadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan masalah ini adalah berkaitan dengan harakat asli dari ain fi’il itu sendiri, apakah berupa fathah, kasrah atau dlammah. Ketika harakat asli dari a’in fi’il adalah fathah, maka harakat yang harus diberikan kepada a’in ketika bertemu dengan waw jama’ adalah fathah. Sedangkan apabila harakat asli dari a’in fi’il adalah kasrah atau dlammah, maka harakat yang harus diberikan kepada a’in fi’il ketika bertemu dengan waw jama’ adalah dlammah. 3. Ketika bertemu dengan dlamir rafa’ mutaharrik. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan huruf asli dari lam fi’il yang harus dimunculkan. Penyelesaiannya sama persis dengan bentuk penyesesaian paa saat bertemu dengan alif tatsniyah.

B. Pendasaran Pemahaman Sighat dan Faidah Arti.
1. Pendasaran Pemahaman Sighat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa diantara kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran ilmu sharaf adalah pemahaman tentang sighat. Hal ini sesuai dengan definisi sharaf yang ditawarkan oleh Musthafa Ghulayaini yang berbunyi :
الصرف علم باصول تعرف بها صيغ الكلمات العربية واحوالها التي ليست باعراب ولا بناء
Dari definisi tentang sharaf di atas diketahui bahwa shighat kalimat merupakan hal yang menjadi target dalam pembelajaran ilmu sharaf. Hal-hal yang harus dikuasai oleh peserta didik seputar sighat adalah menyangkut jenis-jenis sighat, definisi masing-masing dan contohnya.
Untuk tahap awal pengajaran mengenai sighat cukup secara global saja, tidak usah terlalu rinci dan harus menghindarkan diri dari pembahasan yang terlalu dalam, karena hal ini akan menimbulkan keruwetan dalam diri peserta didik yang pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan tidak suka dan bahkan perasaan frustasi. Sedangkan untuk tahap selanjutnya dimana kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik sudah dikuasai, maka pembahasan yang lebih tinggi dapat diberikan, lebih-lebih kepada peserta didik yang memiliki cita-cita untuk menjadi tenaga pengajar di bidang bahasa arab.



2. Faidah Arti
Perpindahan sebuah fi’il mujarrad kepada bentuk mazid memiliki kosekwensi perubahan arti. Perubahan arti sebuah fi’il akibat perpindahan bentuk dari mujarrad kepada bentuk mazid inilah yang dimaksud dengan fawaid al-ma’na ( faedah arti)
Diakui atau tidak, pemahaman tentang faedah arti cukup penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Akan tetapi, karena tingkat spikulasinya cukup tinggi, peserta didik tidak usah terlalu ditekankan terlalu ketat untuk menghafal faedah-faedah arti yang cukup banyak dan njlimet.
Pembelajaran mengenai masalah ini cukup dengan pengenalan faedah-faedah arti yang ada dan menekankan faedah-faedah arti wazan-wazan tertentu yang bersifat masyhur untuk dihafalkan. Wazan-wazan yang faedah artinya bersifat masyhur di antaranya فعل dengan ditasydid a’in fi’ilnya memiliki faedah arti li al-ta’diyah dan li al-taktsir, wazan أفعل dengan ditambah huruf ziyadah hamzah sebelum fa’ fi’il memiliki faedah arti li al-ta’diyah, wazan فاعل dengan ditambah alif setelah fa’ fi’il memiliki faedah arti li al-musyarakah baina al-istnaini dan banyak lagi faedah arti lain yang sifatnya sudah masyhur dan dapat dipahami oleh orang yang sudah terbiasa menganalisa teks-teks yang berbahasa arab. Pengembangan masalah faedah arti yang lebih efektif harus diorientasikan pada peningkatan frekwensi dan intensitas peserta didik dalam membuka kamus

1 komentar: