PEMBELAJARAN ILMU SHARF
I. Pendahuluan
Kemampuan memahami kitab merupakan kemampuan penting dan cukup mendasar untuk seorang calon intelektual muslim. Hal ini didasarkan pada sebuah realitas bahwa untuk mengkaji, membahas dan meneliti sebuah topik tertentu yang berhubungan dengan kajian keislaman, sumber pokok yang yang harus dijadikan sebagai pegangan adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang tertulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Untuk sampai pada kemampuan memahami kitab dengan baik, dibutuhkan beberapa unsur yang tidak boleh tidak harus dikuasai. Unsur dimaksud adalah unsur qawaid, unsur mufradat dan unsur tathbiq.
Qawaid secara umum diklasifikasikan menjadi dua; qawaid al-nahwi dan qawaid al-sharfi. Qawaid al-nahwi bertugas menganalisis kedudukan sebuah kalimat dalam sebuah jumlah. Hal ini berarti berkaitan dengan pengaruh kalimat yang satu (amil) terhadap kalimat yang lain (ma’mul) . Sementara qawaid al sharfi bertugas untuk menganalisis jenis-jenis kalimat (sighat) yang merangkai sebuah jumlah .
Peranan dan signifikansi ilmu sharaf dalam rangka memahami kitab sangat penting dan cukup menentukan. Seseorang cukup sulit untuk dapat dianggap sebagai orang yang ahli dan mampu memahami kitab, ketika dia masih belum mampu membedakan dengan baik kalimat-kalimat bahasa arab yang sedang dihadapinya, apakah termasuk dalam kategori fi’il madli, fi’il mudlari’, masdar, isim fa’il, isim maf’ul dan seterusnya. Kemampuan semacam ini ditawarkan dalam ilmu sharaf.
Dari penjelasan di atas, maka menjadi penting untuk memikirkan dan mencari terobosan tentang bagaimana mengajarkan ilmu sharaf kepada peserta didik secara efektif dan efisien, sehingga pada akhirnya kemampuan ilmu sharaf yang dibutuhkan dapat dimiliki oleh peserta didik secara cepat. Makalah ini mencoba mengurai dan menjelaskan point-point penting dalam pengajaran ilmu sharaf, sebagai upaya mencari terobosan dalam mentransfer kemampuan ilmu sharaf kepada peserta didik secara cepat.
II. Tujuan Pengajaran Ilmu Sharaf.
Untuk menentukan dan memastikan langkah apa dan metode efektif yang bagaimana yang dapat ditawarkan sebagai upaya mencari terobosan dalam pengajaran ilmu sharaf, maka sebagai langkah awal yang harus dirumuskan dan ditentukan terlebih dahulu adalah tujuan pengajaran ilmu sharaf. Hal ini penting untuk dilakukan karena ketidakjelasan tentang tujuan yang akan dicapai dapat berdampak pada kekurangfokusan dan bahkan kekaburan format metode yang akan ditawarkan.
Kemampun mentasrif fi’il baik secara istilahi maupun lughawi harus dianggap sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf yang harus mendapatkan prioritas, karena dengan kemampuan ini seorang peserta didik akan mampu mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada al-ashlu al-wahidnya, atau sebaliknya; akan mampu membuka kamus dan akan mampu memahami dengan baik karakter masing-masing bina’ yang antara yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Sebenarnya peran dan fungsi ilmu sharaf secara umum adalah membantu peserta didik dalam menentukan masing-masing sighat (jenis kata) dari kalimat-kalimat yang merangkai sebuah teks bahasa arab. Apakah kalimat yang sedang dihadapi termasuk dalam kategori fi’il madli, fi’il mudlari’, fi’il amar, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, isim zaman atau isim makan. Masing-masing sighat tersebut harus mampu dipahami dengan baik oleh peserta didik, karena secara langsung memiliki korelasi dengan arti sebuah kalimat. Ketidak mampuan peserta didik dalam memahami dan menentukan sighat akan berdampak pada kemampuan peserta didik dalam menganalisa dan memahami sebuah teks.
Pemahaman tentang fawaid al-ma’na dari wazan-wazan yang ada juga harus dipandang sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf, karena banyaknya wazan yang ada, baik dari fi’il mujarrad, maupun dari fi’il mazid bukan untuk memberikan variasi bacaan, akan tetapi untuk tujuan faidah arti.
III. Bagaimana Metode Mengajarkannya ?
Setelah mengetahui secara umum bahwa tujuan pembelajaran ilmu sharaf adalah ; 1) Agar peserta didik mampu mentasrif fi’il, baik secara istilahi, maupun secara lughawi. 2) Agar peserta didik dapat memahami dan menentukan sighat (jenis kata). 3) Agar peserta didik mampu memahami faidah arti, maka selanjutnya perlu dipikirkan bagaimana metode mengajarkannya secara efektif dan efisien.
A. Metode Mengajar Tasrif Istilahi dan Lughawi
1. Metode Mengajar Tasrif Istilahi.
Tasrif istilahi adalah perubahan bentuk kalimat dari al-ashlu al-wahid menjadi al-amtsilah al-muhktalifah karena tujuan arti yang dikehendaki. Bentuk penulisan tashrif ini menyamping, dimulai dari penulisan bentuk madli dan diakhiri dengan penulisan bentuk isim alat. Dari tashrif ini, peserta didik akan mengenal berbagai sighat yang tedapat di dalam bahasa arab.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajaran tashrif istilahi untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik, diantaranya adalah stressing hafalan, konsep tentang wazan dan latihan (drill)
a. Stressing Hafalan.
Kemampuan mentashrif sebuah kalimat dalam bahasa arab lebih banyak berkaitan dengan hafalan terhadap wazan-wazan yang ada. Hafalan terhadap wazan-wazan yang ada berkaitan erat dengan frekwensi mendengar dan mengucap wazan-wazan yang ada. Karena pertimbangan ini, maka menjadi penting menciptakan sebuah tradisi membaca secara bersama-sama wazan-wazan yang ada 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Berkaitan dengan stressing hafalan, hal ini harus diorientasikan pada sedapat mungkin hafalan tashrifan yang dicapai peserta didik dapat bermanfaat secara maksimal pada kemampuan peserta didik dalam mentashrif mauzun-mauzun yang lain, sehingga hal ini sangat terkait dengan konsep fiil mujarrad dan fiil mazid yang memiliki karakter yang berbeda dalam kaitannya dengan tashrifan fi’il istilahiy.
Di banyak pesantren, hafalan tashrif fiil mujarrad mulai dari bab satu sampai bab enam cukup mendapatkan penekanan, padahal sifat dasar dari fiil mujarrad ini adalah sama’iy. Maksudnya, untuk menentukan bagaimana bacaan bentuk madlinya, apakah ain fiilnya harus difathah, dikasrah atau didlammah, juga bagaimana bentuk mudlari’nya, apakah ain fi’ilnya difathah, dikasrah atau didlammah, juga bagaimana bacaan bentuk masdarnya dan sighat-sighat yang lain, semuanya harus dilihat terlebih dahulu didalam kamus, atau mendengar langsung dari orang arab.
Dampak dari sifat dasar fiil mujarrad yang samaiy ini adalah wazan-wazan yang sudah dihafal oleh peserta didik tidak begitu banyak berperan dan bermanfaat bagi peserta didik untuk dapat mentashrif mauzun-mauzun yang lain yang baru sama sekali, tidak sebanding antara usaha, upaya dan waktu yang sudah dihabiskan oleh peserta didik dengan manfaat yang dirasakannya.
Mungkin pertimbangan yang mendasari kebijakan banyak pesantren dalam memberikan penekanan dan pembebanan kepada para santrinya untuk menghafalkan tashrifan fiil mujarrad, meskipun sifat dasarnya adalah samaiy adalah realitas bahwa fiil mujarrad merupakan dasar dari fiil mazid dan letaknya yang ditulis terlebih dahulu mendahului fiil mazid.
Realitas mengatakan bahwa meskipun seseorang mampu menghafal dengan baik tashrif fiil mujarrad dari bab I sampai bab VI, ia tetap akan mengalami kesulitan untuk menentukan bagaimana bacaan ain fiil dalam fiil madli dan mudlari’, serta bagaimana bacaan sighat-sighat selanjutnya, ketika ia menjumpai fiil yang sama sekali baru. Hal ini tidak hanya terjadi pada peserta didik yang baru saja mengenal ilmu sharaf, akan tetapi juga terjadi pada seorang kyai sekalipun.
Realitas semacam ini menjadikan kita harus berani merubah stressing hafalan dalam pengajaran tashrifan istilahiy, dari stressing pada fiil mujarrad menjadi stressing pada fiil mazid. Fiil mujarrad tetap harus diajarkan tentang seluk-beluknya bukan bertujuan untuk dihafalkan, akan tetapi dijadikan sebagai dasar untuk masuk pada pembahasan fiil mazid yang harus mendapatkan penekanan dari sisi hafalannya.
Fiil mazid harus mendapatkan stressing hafalan, karena ia bersifat qiyasiy. Maksudnya, seorang peserta didik ketika hafal wazan-wazan fiil mazid yang ada, maka ia secara langsung akan mampu mentashrif mauzun-mauzun yang ada. Hal ini menjadikan peserta didik mampu merasakan manfaat dari hafalan yang sudah dicapai, sehingga pada gilirannya motivasi dan semangat belajarnya dapat meningkat.
b. Konsep Tentang Wazan.
Dalam konsep aslinya, wazan selalu dibatasi pada sebuah rangkaian huruf yang terdiri dari fa’, ain’ dan lam ( فعل ) . Wazan yang berfungsi sebagai patokan diharapkan mampu menjembatani seseorang untuk mentashrif mauzun-mauzun yang ada. Pembatasan wazan hanya pada rangkaian huruf fa’, a’in dan lam saja realitasnya tidak begitu banyak membantu peserta didik untuk mampu mentashrif semua mauzun yang ada dari berbagai bina’. Hal inilah yang pada akhirnya memaksa kita untuk berani merubah konsep wazan, sehingga pada akhirnya wazan benar-benar memiliki fungsi sebagai patokan dalam mentashrif mauzun-mauzun yang ada.
Konsep wazan harus mewakili bina’-bina’ yang ada. Mulai dari bina’ yang tergabung dalam kategori fi’il shahih, yaitu salim, mudla’af, mahmuz atau yang tergabung dalam kategori fiil mu’tal yaitu mitsal, ajwaf, naqish dan lafif . Hal ini didasarkan pada sebuah realitas bahwa seseorang yang mampu menghafal wazan dari bina’ salim, maka ia akan mampu menjadikannya sebagai patokan untuk mauzun yang salim juga. Ia akan merasa kesulitan untuk mentashrif mauzun dari bina selain bina’ salim, demikiam juga seterusnya.
Dari uraian di atas dapat dibuat gambaran tentang wazan sebagai berikut :
الوزن الموزون
فعل حدث علم قرب نعم سخن قلم ملك فكر جنب
افعل احدث اعلم اقرب انعم اسخن اقلم املك افكر اجنب
فاعل حادث عالم قارب ناعم ساخن قالم مالك فاكر جانب
تفاعل تحادث تعالم تقارب تناعم تساخن تقالم تمالك تفاكر تجانب
تفعل تحدث تعلم• تقرب تنعم تسخن تقلم تملك تفكر تجنب
افتعل احتدث اعتلم اقترب انتعم استخن اقتلم امتلك افتكر اجتنب
انفعل انحدث انعلم انقرب انعم انسخن انقلم انملك انفكر انجنب
افعل احدث اعلم اقرب انعم اسخن اقلم املك افكر اجنب
استفعل استخبر استعلم استقرب استنعم استسخن استقلم استملك استفكر استجنب
وكل وبش وبق وتر وتد وثف وثق وجع وذر ورد
زكى لقى ربى رقى سمى نمى لبى صلى نعى جلى
ولى وفى ورى وعى وصى وخى وقى ونى ودى وثى
ماس ماد مار جال خاف راق قار حال عال بال
عاطى نافى نادى لاقى رامى بالى راعى ساقى لامى ناعى
امد اجل اعل احس احل ارق الم اشل اعد اخف
اوعد اوبش اوبق اوتر اوتد اوثف اوثق اوجع اوذر اورد
ايسر ايأس ايبس ايتم ايرع ايسن ايقن ايمن اينع ايقظ
اجاب افاد احال اشار افاض اضاف امات ادام اقال انام
اعطى القى اربى ارقى اسمى انمى البى اصلى انعى اجلى
اودى اوفى اورى اوعى اوصى اوخى اوقى اونى اولى اوثى
تماس تماد تمار تجال تخاف تراق تقار تحال تعال تبال
تعاطى تنافى تنادى تلاقى ترامى تبالى تراعى تساقى تلامى تناعى
تعدى تلقى تربى ترقى تسمى تنمى تلبى تصلى تنعى تجلى
امتد اجتل اعتل احتس احتل ارتق التم اشتل اعتد اختف
اعتاد احتاج احتال استاك احتاط افتاد اختار اقتات امتات افتاق
انفض انجل انعل انحس انحل انرق انلم انشل انعد انخف
انجلى انعدى انبرى انحرى انبلى انرقى انلبى انسلى انلقى انربى
استمد استقر استحل استجل استخف استلم استبل استمر استلب استحم
استوثق استوبش استوبق استوتر استوتد استوثف استوعد استوجع استوذر استورد
استجاب استفاد استحال استشار استفاض استضاف استمات استدام استقال استنام
استوفى استولى استورى استوعى استوصى استوخى استوقى استونى استوبى استوثى
Masing-masing wazan di atas disusun berdasarkan bina’-bina yang ada, sehingga apabila peserta didik menghafal dan menguasainya, secara otomatis ia akan mampu mentashrif mauzun-mauzun yang ada dari berbagai bina’.
c. Latihan ( Drill )
Kemampuan mentashrif fi’il realitasnya merupakan kemampuan yang banyak berhubungan dengan skill (ketrampilan), bukan kemampuan yang murni berhubungan dengan kecerdasan seseorang. Karena demikian, maka upaya yang harus selalu dilakukan adalah melatih ketrampilan peserta didik dengan frekwensi yang cukup banyak.
Ada beberapa tahapan yang secara sistimatis akan mampu memberikan kemudahan bagi peseta didik dalam mencapai kemampuan mentashrif fi’il dengan baik. Tahapan-tahapan dimaksud adalah pembiasaan ( تعويد ), hafalan (تحفيظ) dan latihan (تدريب ).
Pembiasaan ( تعويد ) harus dilakukan sejak awal, dimana peserta didik baru pertama kali mengenal tashrif dengan cara mewajibkan peserta didik untuk bersama-sama membaca wazan-wazan yang sudah ditentukan setiap kali pelajaran akan dimulai. Hal ini harus terus dilakukan sampai pada sebuah tahapan dimana lidah peserta didik terbiasa, tidak kaku dan dapat lancar melafadzkan tashrifan wazan yang sudah ditentukan.
Waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada sebuah tahapan dimana peserta didik terbiasa, tidak kaku dan lancar dalam melafadzkan wazan-wazan yang sudah ditentukan sangat tergantung pada frekwensi latihan. Ketika membaca bersama-sama dilakukan tiga kali atau lebih dalam satu hari misalnya, maka kemampuan lancar membaca dan melafadzkan wazan akan cepat dicapai.
Setelah peserta didik sudah terbiasa membaca dan melafadzkan wazan-wazan yang sudah ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah membebani peserta didik untuk menghafalkan (تحفيظ) wazan-wazan tersebut secara bertahap sambil terus mempertahankan tradisi membaca bersama-sama sebelum pelajaran dimulai.
Pada tahapan ini yang paling berperan adalah perhatian dan konsistensi seorang tenaga pengajar. Ketika perhatian dan konsistensi seorang tenaga pengajar sangat rendah dalam mengawasi peserta didik untuk sampai pada tahapan ini, maka pada saat yang sama perhatian dan konsistensi peserta didik juga cukup rendah, sehingga pada gilirannya target dan tujuan yang sudah ditetapkan menjadi sulit untuk dicapai.
Setelah wazan-wazan yang ada sudah dihafal, maka tahapan selanjutnya yang harus dilalui oleh peserta didik adalah latihan ( تدريب ). Ada dua tahapan yang dilakukan oleh seorang tenaga pengajar dalam melatih peserta didik; yang pertama adalah melatih peserta didik untuk mentashrif mauzun dengan dimulai dari al-ashlu al-wahid ( تدريب تصريف الاصل الواحد الى الامثلة المختلفة ), yang kedua adalah melatih peserta didik untuk mampu mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada bentuk al-ashlu al-wahid ( تدريب رد الامثلة المختلفة الى الاصل الواحد ).
Untuk melatih kemampuan tahapan yang pertama, kolom tentang wazan dan mauzun di atas dapat dijadikan sebagai pegangan oleh tenaga pengajar, sedangkan untuk melatih kemampuan tahapan yang kedua dapat dibuat contoh panduan sebagai berikut :
النمرة ١ ٢ ٣ ٤ ٥ ٦ ٧ ٨ ٩
١ تبيين مبين محال نداء تسمية اعلال مستغرق تعرض مفت
٢ استطاعة تربية منزل تحديد متم مفطر افادة مختلف متسع
٣ ابتعاد تطور تدوين اجلال مقدم اختيار محتال مستقل استقلال
٤ جهاد ظهار لعان تشعب تذكية مضح تأخير تضحية مستقر
٥ مميت مستحب ترتيب مسلم متعمد متفاوت مشتر مكره اطعام
٦ متبايع مشاهدة مصنف منفرد افتراش اقتداء تشهد مشكل مسافر
٧ منافاة ملاقاة مناف استيطان مختص منفك مستمر اغاثة مشير
٨ مضاف انقضاء استهلال مستعمل استغفار تعميم انتهاء مرتد استحقاق
٩ مستعار تقابض منعقد استيفاء تصرف مريد مراد ابراء اخراج
١٠ اتفاق مدرك استثناء توكيل ملتقط مجتمع ايصال ايصاء مغمى
١١ ايقاظ مسوف اقامة مراع تسويف اهداء تشمير متبادر استعداد
١٢ تفكر متوقع معاينة ابقاء مؤثر موفق اجتناب تأمل منفك
١٣ مفرق تردد ايمان مقتضى تفطن مستكثر متكاسل متعلل لقاء
١٤ تصلية مكفر متحمل انتظار اسقاط تتخلف تتحرى تجتهد اسباغ
١٥ احتياج يتخطى مهم تسوية تحريض متقدم ملازمة تفرغ اختلال
١٦ مقتصر محافظة مفصل مخاطب اشتغال ملم اخراج تخريف تخفيف
١٧ تطوع ممطر تسعير توحيد اباحة مبيح معتزل افتاء مصلح
Yang perlu ditanyakan oleh seorang tenaga pengajar kepada peserta didik dalam melatih kemampuan peserta didik untuk mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada al-ashlu al-wahid adalah seputar harus dilafadzkan bagaimana kalimat-kalimat yang terdapat didalam kolom, sighatnya apa dan berasal dari bentuk madli apa.
2. Metode Mengajar Tashrif Lughawi.
Tasrif lughawiy adalah sebuah bentuk tasrif fi’il tertentu dengan cara mengisnadkannya kepada dlamir baik mutakallaim, mukhatab atau ghaib. Dalam tasrif lughawiy tidak terjadi perubahan sighat sebagaimana yang terjadi dalam tasrif istilahiy.
Tasrif lughawiy biasanya ditulis memanjang dari atas ke bawah dimulai dari penggabungan dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) pada fi’il yang sedang ditasrif dan diakhiri dengan penggabungan dlamir mutakallim ma’a al-ghairi (نحن )
Secara umum tidak terdapat perbedaan karakter antara fi’il mujarrad dengan fi’il mazid dalam tasrif lughawiy, sehingga pengajaran tasrif lughawiy tidak berangkat dari konsep mujarrad dan mazid, sebagaimana yang terjadi dalam pengajaran tasrif istilahiy. Pintu masuk pengajaran tasrif lughawiy harus melalui konsep bina’ yang realitasnya antara bina’ yang satu dengan bina’ yang lain terjadi perbedaan hukum ketika diisnadkan kepada dlamir-dlamir tertentu. Perbedaan hukum inilah yang harus diperhatikan dan ditekankan dalam pengajaran tasrif lughawiy kepada peserta didik .
Sebagai gambaran dalam mencari perbedaan dan permasalahan yang terjadi dalam bina’-bina’ yang ada yang harus diperhatikan oleh seorang tenaga pengajar dalam pengajaran tasrif lughawiy kepada peserta didik, dapat diperhatikan contoh-contoh berikut ini :
الضمائر الابنية
الصحيح المعتل
سالم مضاعف مهموز مثال اجوف ناقص لفيف
هو فتح مد أمل وعد صام باع غزا رمى رضي سوى
هما فتحا مدا أملا وعدا صاما باعا غزوا رميا رضيا سويا
هم فتحوا مدوا أملوا وعدوا صاموا باعوا غزوا رموا رضوا سووا
هي فتحت مدت أملت وعدت صامت باعت غزت رمت رضيت سوت
هما فتحتا مدتا أملتا وعدتا صامتا باعتا غزتا رمتا رضيتا سوتا
هن فتحن مددن أملن وعدن صمن بعن غزون رمين رضين سوين
انت فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
انتما فتحتما مددتما أملتما وعدتما صمتما بعتما غزوتما رميتما رضيتما سويتما
انتم فتحتم مددتم أملتم وعدتم صمتم بعتم غزوتم رميتم رضيتم سويتم
انت فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
انتما فتحتما مددتما أملتما وعدتما صمتما بعتما غزوتما رميتما رضيتما سويتما
انتن فتحتن مددتن أملتن وعدتن صمتن بعتن غزوتن رميتن رضيتن سويتن
انا فتحت مددت أملت وعدت صمت بعت غزوت رميت رضيت سويت
نحن فتحنا مددنا أملنا وعدنا صمنا بعنا غزونا رمينا رضينا سوينا
Dari contoh-contoh di atas yang mewakili bina’-bina’ yang ada ( perhatikan tulisan yang dicetak miring dan tebal dalam kolom-kolom di atas !), sebagai strategi pengajaran tasrif lughawy dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut sebagai berikut :
Untuk bina’ salim, pengisnadan fi’il kepada dlamir mulai dari dlamir mufrad mudzakkar gha’ib ( هو ) sampai dlamir mutakallim ma’a al-ghairi ( نحن )tidak terjadi permasalahan dan perbedaan hukum , sehingga tidak ada yang perlu ditekankan oleh seorang tenaga pengajar dalam mengajar tasrif lughawiy bina’ ini. Seorang guru perlu menginformasikan realitas bahwa tidak terjadinya permasalahan dan perbedaan hukum ini kepada peserta didik, sehingga diharapkan ada kesadaran dan pemahaman dari peserta didik tentang bagaimana mentasrif lughawiy bina salim dan pada gilirannya ia akan mampu mentasrif lughawiy mauzun-mauzun yang sebina’ dengan wazan ini.
Untuk bina’ mudla’af, pengisnadan fi’il kepada dlamir terdapat perbedaan hukum, yaitu antara kewajiban mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua dengan ketidakbolehan mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua. Kewajiban mengidghamkan huruf sejenis yang pertama pada huruf sejenis yang kedua terjadi mulai dari ketika fi’il tersebut diisnadkan kepada dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) sampai pada dlamir tastniyah muannats ghaib ( هما ). Setelah fi’il mudla’af ini diisnadkan kepada dlamir jama’ muannats gha’ib dan selanjutnya sampai yang terakhir, dimana dlamir ini termasuk dalam kategori dlamir mutaharrik rafi’, maka pengidghaman tidak diperbolehkan lagi, sehingga yang terjadi adalah fakk atau melepas, mengurai dan menulis dua huruf sejenis yang terdapat dalam urutan a’in fi’il dan lam fi’il. Realitas semacam ini harus diinformasikan oleh tenaga pengajar kepada peserta didik, sehingga pada gilirannya diharapkan peserta didik akan mampu mentasrif lughawiy mauzun-mauzun bina’ mudla’af dengan baik. Untuk peserta didik yang sudah mampu berlogika,seorang tenaga pengajar harus menjelaskan bentuk rasionalisasi dari mengapa harus terjadi pengidghaman dan mengapa pula tidak boleh ada pengidghaman.
Untuk bina’ mahmuz dan mitsal cara pentasrifannya sama persis dengan bina’ salim, tidak terjadi keanehan dan perbedaan hukum mulai dari pengisnadan fi’il pada dlamir mufrad mudzakkar ghaib ( هو ) sampai dlamir mutakallim ma’a al-ghairi ( نحن ), sehingga realitas yang terjadi pada bina’ salim dapat dijadikan pegangan dalam mentasrif mauzun yang berasal dari bina’ mahmuz dan mitsal.
Untuk bina ajwaf, terdapat permasalahan atau perbedaan hukum yang harus diperhatikan oleh seorang tenaga pengajar dan diinformasikan kepada peserta didik beserta bagaimana cara menyelesaikannya. Permasalahan atau perbedaan hukum tersebut terletak pada saat fi’il bertemu dengan dlamir rafa’ mutaharrik ( mulai dari dlamir هن sampai dlamir ( نحن. Permasalahan dan perbedaan hukum menyangkut harakat fa’ fi’il yang memiliki dua alternatif bacaan, yaitu dibaca dlammah atau dibaca kasrah. Seorang tenaga pengajar harus memberikan penegasan bahwa fa’ fi’il dalam fi’il ajwaf harus dibaca dlammah ketika fi’il ajwaf tersebut mengikuti wazan يفعل dengan dibaca dlammah ain fi’ilnya dalam fi’il mudlari’nya, sedangkan apabila mengikuti wazan selain يفعل , maka fa’ fi’ilnya harus dibaca kasrah. Hukum semacam ini hanya berlaku untuk fi’il ajwaf yang termasuk dalam kategori mujarrad dan tidak berlaku untuk kawasan mazid.
Bina’ naqish dan lafif memiliki permasalahan dan perbedaan hukum yang sama, yaitu :1. Ketika bertemu dengan alif tastniyah. Permasalahannya menyangkut pengembalian huruf ashliy dari lam fi’il ( waw atau ya’ ) yang pada awalnya harus diganti dengan alif karena alasan-alasan tertentu . Permasalahan ini terjadi pada fi’il naqish atau lafif yang mengikuti wazan فعل dengan dibaca fathah a’in fi’ilnya. Sedangkan untuk selain wazan فعل permasalahan ini tidak terjadi, karena sejak awal huruf asli dari lam fi’il ditulis apa adanya dan tidak mengalami pergantian. Ada dua cara yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk memastikan bahwa huruf asli dari lam fi’il berupa waw atau ya’, yang pertama adalah berkaitan dengan bagaimana penulisan alif pengganti yang terdapat dalam lam fi’il, apakah ditulis tegak atau ditulis bengkok. Ketika alif ditulis tegak, maka huruf asli yang harus muncul pada saat bertemu dengan alif tatsniyah adalah berupa waw, sedangkan apabila alif ditulis bengkok, maka huruf asli yang muncul pada saat bertemu dengan alif tatsniyah adalah ya’. Yang kedua berkaitan dengan bagaimana bentuk masdarnya harus dilafadzkan, karena huruf asli akan muncul dalam bentuk masdarnya. Ketika yang muncul dalam bentuk masdarnya adalah waw, maka yang harus dimunculkan ketika bertemu dengan alif tatsniyah adalah waw. Sedangkan apabila yang muncul dalam bentuk masdarnya adalah ya’, maka yang harus dimunculkan ketika bertemu dengan alif tatsniyah adalah ya’ juga. 2. Ketika bertemu dengan waw jama’. Permasalahan yang muncul berkaiatan dengan harakat dari a’in fi’il, apakah harus dibaca dlammah atau dibaca fathah. Hal yang harus dijadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan masalah ini adalah berkaitan dengan harakat asli dari ain fi’il itu sendiri, apakah berupa fathah, kasrah atau dlammah. Ketika harakat asli dari a’in fi’il adalah fathah, maka harakat yang harus diberikan kepada a’in ketika bertemu dengan waw jama’ adalah fathah. Sedangkan apabila harakat asli dari a’in fi’il adalah kasrah atau dlammah, maka harakat yang harus diberikan kepada a’in fi’il ketika bertemu dengan waw jama’ adalah dlammah. 3. Ketika bertemu dengan dlamir rafa’ mutaharrik. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan huruf asli dari lam fi’il yang harus dimunculkan. Penyelesaiannya sama persis dengan bentuk penyesesaian paa saat bertemu dengan alif tatsniyah.
B. Pendasaran Pemahaman Sighat dan Faidah Arti.
1. Pendasaran Pemahaman Sighat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa diantara kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran ilmu sharaf adalah pemahaman tentang sighat. Hal ini sesuai dengan definisi sharaf yang ditawarkan oleh Musthafa Ghulayaini yang berbunyi :
الصرف علم باصول تعرف بها صيغ الكلمات العربية واحوالها التي ليست باعراب ولا بناء
Dari definisi tentang sharaf di atas diketahui bahwa shighat kalimat merupakan hal yang menjadi target dalam pembelajaran ilmu sharaf. Hal-hal yang harus dikuasai oleh peserta didik seputar sighat adalah menyangkut jenis-jenis sighat, definisi masing-masing dan contohnya.
Untuk tahap awal pengajaran mengenai sighat cukup secara global saja, tidak usah terlalu rinci dan harus menghindarkan diri dari pembahasan yang terlalu dalam, karena hal ini akan menimbulkan keruwetan dalam diri peserta didik yang pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan tidak suka dan bahkan perasaan frustasi. Sedangkan untuk tahap selanjutnya dimana kemampuan dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik sudah dikuasai, maka pembahasan yang lebih tinggi dapat diberikan, lebih-lebih kepada peserta didik yang memiliki cita-cita untuk menjadi tenaga pengajar di bidang bahasa arab.
2. Faidah Arti
Perpindahan sebuah fi’il mujarrad kepada bentuk mazid memiliki kosekwensi perubahan arti. Perubahan arti sebuah fi’il akibat perpindahan bentuk dari mujarrad kepada bentuk mazid inilah yang dimaksud dengan fawaid al-ma’na ( faedah arti)
Diakui atau tidak, pemahaman tentang faedah arti cukup penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Akan tetapi, karena tingkat spikulasinya cukup tinggi, peserta didik tidak usah terlalu ditekankan terlalu ketat untuk menghafal faedah-faedah arti yang cukup banyak dan njlimet.
Pembelajaran mengenai masalah ini cukup dengan pengenalan faedah-faedah arti yang ada dan menekankan faedah-faedah arti wazan-wazan tertentu yang bersifat masyhur untuk dihafalkan. Wazan-wazan yang faedah artinya bersifat masyhur di antaranya فعل dengan ditasydid a’in fi’ilnya memiliki faedah arti li al-ta’diyah dan li al-taktsir, wazan أفعل dengan ditambah huruf ziyadah hamzah sebelum fa’ fi’il memiliki faedah arti li al-ta’diyah, wazan فاعل dengan ditambah alif setelah fa’ fi’il memiliki faedah arti li al-musyarakah baina al-istnaini dan banyak lagi faedah arti lain yang sifatnya sudah masyhur dan dapat dipahami oleh orang yang sudah terbiasa menganalisa teks-teks yang berbahasa arab. Pengembangan masalah faedah arti yang lebih efektif harus diorientasikan pada peningkatan frekwensi dan intensitas peserta didik dalam membuka kamus
Sabtu, 04 Juni 2011
pemeelajaran kita kunining
PEMBELAJARAN KITAB KUNING
Dalam meniti karier ilmiyah, utamanya yang berkenaan dengan masalah keislaman, seseorang membutuhkan kemampuan bahasa Arab. Dari empat kemampuan bahasa arab yang ada, kemampuan membaca teks arab merupakan kemampuan yang paling penting untuk diperhatikan, meskipun hal ini tidak dapat diterjemahkan dengan dapat diabaikannya kemampuan bahasa arab yang lain .
Realitas mengatakan bahwa untuk mengkaji persoalan-persoalan keagamaan yang literaturnya tertulis dengan menggunakan bahasa arab, bagaimanapun juga yang lebih berperan adalah kemampuan membaca. Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan memahami kitab dapat berdampak pada terbatasnya orang tersebut dalam mengelaborasi persoalan keagamaan yang sedang dikajinya.
Minimal ada tiga unsur pokok yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk dapat sampai pada tingkat kemampuan pemahaman kitab yang memadai dan memenuhi standart. Tiga unsur dimaksud adalah unsur qawaid, unsur mufradat dan unsur tathbiq. Seseorang yang hanya memiliki kemampuan qawaid akan bermasalah dalam membaca dan memahami kitab, ketika perbendaharaan kata (mufradat ) yang dimilikinya sangat minim, demikian juga seterusnya. Karena demikian, tiga unsur ini harus diupayakan untuk dikuasai secara sistematis dan berkelanjutan baik oleh tenaga pengajar, maupun oleh peserta didik.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang peran dan andil dari tiga unsur di atas dalam mengantarkan peserta didik pada kemampuan memahami kitab, akan kami uraikan masing-masing dari tiga unsur di atas secara lebih jelas dan konkrit.
1. Unsur Qawaid
Kata qawaid merupakan bentuk jamak dari mufrad qaidatun yang berarti dasar, asas, pedoman, peraturan, kaidah . Sebenarnya ilmu-ilmu bahasa arab yang berfungsi menjaga ucapan dan tulisan dari kesalahan ada tiga belas, yaitu Sharf, I’rab, Rasm, Ma’aniy, Bayan, Badi’, ‘Arudl, Qawafiy, Qardlu al-syi’ry, Insya’, Khithabah, Tarikh al-adab dan matnu al-lughah.Dari tiga belas ilmu bahasa arab di atas yang paling penting adalah ilmu sharf dan ilmu I’rab ( nahwu ) .
Ilmu nahwu secara umum bertugas untuk menganalisis kedudukan I’rab sebuah kalimah dalam jumlah, sedangkan ilmu sharf secara umum bertugas untuk menganalisis status kata (shighat) yang merangkai sebuah jumlah.
Kata kunci yang harus diperhatikan dalam pengajaran qawaid, baik ilmu nahwu atau ilmu sharf adalah sistematis. Pengajaran ilmu qawaid yang tidak sistematis akan berdampak pada lompatan berfikir dan keruwetan yang berkepanjangan. Untuk dapat mensistematisasi materi ilmu qawaid dengan baik, sehingga mudah dicerna dan difahami, seseorang harus memahami terlebih dahulu pada karakter masing-masing bab yang terdapat dalam ilmu nahwu dan ilmu sharf. Dari perspektif inilah dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang yang bisa membaca kitab dapat menjadi pengajar ilmu nahwu dan sharf yang baik, yang mampu memahamkan dan mengantarkan peserta didiknya pada tingkat kemampuan memahami kitab dengan baik
Secara sederhana kerangka fikir materi ilmu qawaid yang sistematis dapat digambarkan sebagai berikut:
كلمة ¬ اعراب ¬ جملة
Materi-materi yang termasuk dalam kategori kalimah (kata) adalah materi yang merupakan prasyarat untuk masuk pada materi I’rab. Pembahasan materi-materi ini merupakan pembahasan yang mandiri, bukan merupakan pembahasan pengaruh atau hubungan antara kalimah yang satu yang biasa disebut sebagai amil dengan kalimah yang lain yang biasa disebut sebagai ma’mul . Materi-materi ini antara lain adalah:
a. Fiil, yang meliputi :
1). Madli, Mudlori’ dan Amar. Pembahasan klasifikasi fi’il ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar untuk pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. oleh sebab itu, pembahasannya selalu didahulukan dari pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. Secara umum pembahasan klasifikasi fi’il ini berkaitan dengan zaman yang dimiliki oleh sebuah kalimat fi’il.
2). Mujarrad dan Mazid. Pembahasan klasifikasi ini penting, karena akan memberikan informasi kepada kita bahwa huruf-huruf yang membentuk sebuah kalimat fi’il ada yang merupakan huruf asli (fa’ al-fi’li, ain al-fi’li dan lam al-fi’li) dan ada pula yang merupakan huruf ziyadah. Fi’il yang hanya dibentuk oleh huruf asli saja disebut dengan fi’il mujarrad yang sifat dasarnya adalah sama’iy, sedangkan fi’il yang dibentuk dari gabungan huruf asli dan huruf ziyadah disebut dengan fi’il mazid yang memiliki sifat dasar qiyasiy. Pembahasan klasifikasi fi’il mujarrad dan mazid ini selalu berkaitan dengan fawaid al-ma’na .
3). Shahih dan Mu’tal. Pembahasan materi ini penting karena akan memberikan informasi pada kita bahwa huruf yang membentuk lafadz-lafadz bahasa arab dapat menerima pembuangan, pergantian atau perubahan. Huruf yang membentuk sebuah lafadz tidak semuanya merupakan huruf asli. Ia dapat juga merupakan huruf pengganti dari huruf asli yang harus diganti atau dibuang karena alasan-alasan tertentu.
4). Ma’lum dan Majhul. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan fa’il dan naib fa’il. Sebuah kalimat yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il dapat ditentukan sebagai fa’il atau naib fail tergantung pada apakah fi’il yang jatuh sebelumnya beupa fi’il ma’lum atau fi’il majhul.
5). Lazim dan Mutaaddi. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan maf’ul bih. Sebuah jumlah fi’liyah yang dibentuk oleh sebuah fi’il terkadang harus dilengkapi oleh maf’ul bih, terkadang tidak. Hal ini tergantung pada apakah fi’il yang membentuk jumlah fi’liyah merupakan fi’il lazim ataukah fi’il mutaadi.
6). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan klasifikasi ini tidak ada sangkut pautnya dengan analisa teks. Pembahasan klasifikasi ini hanya berfungsi memberikan kesadaran dan informasi bahwa tidak semua harakat akhir dari sebuah kalimat fi’il dapat berubah ketika dimasuki ‘amil.
7). Dan lain-lain
b. Isim, yang meliputi :
1). Mufrad, Tatsniyah dan Jama’. Pembahasan ini secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
2). Mudzakkar dan Muannats. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut , hal, fa’il dan naib fa’il karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
3). Nakirah dan Ma'rifat. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan dasar bahwa mubtada’ harus berupa isim ma’rifat, na’at dan man’ut harus selalu muthabaqah dan hal harus selalu berupa isim nakirah.
4). Munsharif dan Ghairu Munsharif. Pembahasan ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan analisa teks atau murad, tetapi hanya merupakan penegasan bahwa tanwin yang merupakan tanda dari sebuah kalimat isim tidak dapat dipasangkan pada sebuah kalimat isim yang memenuhi persyaratan untuk ditentukan sebagai isim ghairu munsharif.
5). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan ini sebenarnya juga tidak ada kaitannya dengan analisa teks, atau murad, tetapi hanya merupakan bentuk penegasan bahwa harakat akhir dari sebuah kalimat isim tidak semuanya dapat ditundukkan dan dirubah oleh sebuah amil. Isim-isim yang termasuk dalam kategori mabni harakat akhirnya tetap dan tidak dapat dirubah oleh sebuah amil.
6). Isim Sifat. Pembahasan ini secara khusus barkaitan dengan pembahasan na’at-man’ut dan isim-isim yang dapat beramal sebagaimana fi’ilnya.
7). Manqush dan Maqshur. Pembahasan ini berkaitan dengan penegasan bahwa tidak semua isim mu’rab yang dimasuki amil, harakat akhirnya berubah secara lafdziy, akan tetapi juga ada yang berubah secara taqdiriy.
8). Masdar. Pembahasan ini berkaitan dengan pengamalan masdar
9). Dan lain-lain
c. Huruf
Pembahasan huruf untuk tahap awal cukup pengenalan jenis huruf dan pengaruhnya pada sebuah kalimat yang dimasukinya. Pembahasan huruf untuk tahap dasar tidak sampai pada pembagian kedalam klasifikasi huruf ashliy, zaid dan syabih bi al-zaid, atau tidak sampai pada pembahasan ma’aniy huruf al-jar, karena pembahasan semacam ini cukup banyak menyita perhatian dan pemikiran.
Sedangkan materi-materi yang termasuk dalam kategori I’rob adalah:
1) Anwa’ dan Alamat al-I’rob.
Pembahasan ini berfungsi memberikan informasi kepada peserta didik tentang istilah yang menunjukkan perubahan yang biasa dipakai dalam I’rab, mulai dari rafa’, nashab, jar dan jazem beserta tanda-tanda yang bervariasi yang menunjukkan perubahan I’rab tersebut. Dari materi inilah peserta didik akan memahami bahwa rafa’ tidak identik dengan dlammah, nashab tidak identik dengan fathah, jar tidak identik dengan kasrah dan jazem tidak identik dengan sukun. Masih ada tanda yang lain yang menunjukkan rafa’, nasab, jar dan jazem selain tanda-tanda yang disebutkan di atas.
2) Aqsam al-I’rab.
Pembahasan ini memberikan informasi kepada peserta didik bahwa perubahan hukum sebuah kalimat karena tuntutan sebuah amil, ada yang secara dhahir dapat dilihat (dhahiran atau lafdzan), ada pula perubahan yang secara dhahir tidak dapat dilihat, meskipun sebenarnya memiliki tanda I’rab , akan tetapi karena alasan-alasan tertentu, tanda I’rab tersebut tidak dapat dimunculkan ( taqdiran ) dan ada pula perubahan yang memang tidak memiliki tanda I’rab ( mahallan ) karena memang tanda I’rab tidak dapat masuk pada kalimat tersebut.
3) Marfuat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
4) Manshubat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
5) Majrurat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
6) Tawabi’.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian dan contoh.
Sementara yang dimaksud dengan jumlah dalam sistimatika kerangka fikir nahwu di atas adalah jumlah yang memiliki mahal I’rab ( laha mahallun min al-I’rab) dan yang tidak memiliki mahal I’rab ( la mahalla laha min al-I’rab
Materi tentang I’rab tidak boleh diajarkan sama sekali sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan dan difahami. Karena materi tentang kalimat merupakan materi prasyarat dari materi I’rab. Akan terjadi lompatan berfikir yang berdampak pada kebingungan dan keruwetan yang dialami peserta didik dalam menangkap dan memahami pelajaran ketika materi tentang I’rab diajarkan sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan.
Sebagai ilustrasi awal dapat dicontohkan sebagai berikut ; Materi tentang fail yang masuk dalam kawasan I’rab tidak mungkin dapat ditangkap dengan baik, apabila pemahaman peserta didik tentang konsep fiil ma’lum dan fiil majhul masih nihil, karena untuk bisa membedakan antara fail dan naib fail kemampuan tentang fiil ma’lum dan fiil majhul mutlak diperlukan. Materi tentang mubtada tidak bisa diajarkan dengan baik sebelum peserta didik memahami dengan baik konsep nakiroh dan ma’rifat, karena prinsip dasarnya, sebuah mubtada tidak boleh dibentuk kecuali dari isim ma’rifat .
Materi tentang na’at-man’ut tidak mungkin diajarkan sebelum peserta didik memahami konsep mufrad-tatsniyah-jama’, mudzakkar- muannats dan ma’rifat-nakiroh, karena antara na’at dan man’ut harus terjadi kesesuaian dalam aspek yang disebutkan terakhir .
Dan masih banyak contoh yang lain yang makin menegaskan bahwa materi-materi dalam ilmu qawaid harus diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, materi prasyarat dan materi inti.
Disamping harus sistematis, pengajaran materi qawaid juga harus didasarkan pada azaz manfaat. Seorang pengajar ilmu qawaid sebisa mungkin harus mengupayakan materi yang diajarkan dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh peserta didik . Materi-materi yang tidak membumi atau jarang muncul dalam teks-teks berbahasa arab sebisa mungkin pada tahap awal untuk ditinggalkan, karena peserta didik tidak dapat secara langsung merasakan manfaatnya yang pada akhirnya dapat berdampak pada kejenuhan, kebosanan dan bahkan ketidak sukaan terhadap materi-materi ilmu qawaid
Azaz manfaat ini menjadikan seorang tenaga pengajar harus mampu membaca realitas yang terdapat dalam teks-teks berbahasa arab. Maksudnya, materi-materi yang paling sering dijumpai dalam teks-teks berbahasa arab harus mendapatkan penekanan dan perhatian khusus, sehingga dikuasai dan difahami oleh peserta didik.
Seorang tenaga pengajar ilmu qawaid tidak boleh mengajarkan materi-materi yang ada sesuai dengan urut-urutan yang terdapat dalam kitab, karena sistematika pembahasan materi ilmu qawaid yang ditawarkan di dalam kitab-kitab klasik tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan peserta didik , akan tetapi didasarkan pada pertimbangan kesamaan dan kesejenisan. Sebagai contoh, untuk mengenal maf’ul bih misalnya, seorang peserta didik harus menunggu waktu yang cukup lama, karena harus menunggu terlebih dahulu penyelesaian secara keseluruhan semua bab yang termasuk dalam kategori marfu’at al-asma , padahal terbatasnya waktu yang tersedia menjadikan peserta didik sulit menghatamkan bab tersebut secara mendalam dan meyakinkan.
Kita dapat melihat sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab klasik secara umum, dimana pembahasannya selalu dimulai dari bab kalam, kemudian dilanjutkan dengan bab I’rab, marfuat al-asma, manshubat al-asma dan diakhiri dengan pembahasan majrurat al-asma’.
Untuk peserta didik yang memang sejak awal memiliki niat berlama-lama di pondok pesantren yang ini biasa terjadi di pesantren-pesantren salaf yang kurikulumnya memang sudah didesain demikian, sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab-kitab klasik bukan merupakan masalah. Akan tetapi, ketika dikaitkan dengan peserta didik yang kesempatan belajarnya dibatasi oleh waktu, yakni hanya beberapa semester saja dengan waktu tatap muka sangat minim dan semangat untuk menguasai materi juga minim, maka sistematika yang ditawarkan oleh kitab-kitab klasik dapat menjadi sebuah permasalahan, ketika harus diikuti dan diterapkan secara ketat.
Dalam konteks lembaga pendidikan formal yang lain, dimana controling dan monitoring terhadap target-target materi yang harus diajarkan sangat lemah, bisa jadi pengajaran kitab-kitab qawaid yang ada hanya bersifat formalitas dan tidak pernah dikaji secara tuntas dan serius. Sering kita dengar keluhan dari para peserta didik tentang fakta yang ada, dimana kitab jurumiyah yang sedang dikaji dan masih sampai pada bab mubtada’ terpaksa pengajian harus dihentikan dan kemudian diganti kitab lain, karena waktu yang tersedia sudah habis dan masuk tahun ajaran baru. Demikian pula halnya nasib pengajian kitab I’mrithy, mutammimah dan bahkan alfiyah.
Realitas di atas menjadikan kita berkesimpulan bahwa pemahaman ilmu qawaid yang mungkin dimiliki oleh para peserta didik “paling banter” hanya sampai pada tingkatan marfuat al-asma’, sedangkan pemahaman tentang manshubat dan majrurat tidak pernah mereka miliki, karena memang tidak mendapatkan porsi pembahasan yang memadai, akibat dari porsi jam yang tersedia sangat terbatas dan alur pengajaran yang mengikuti sistematika yang dikembangkan di dalam kitab-kitab qawaid klasik.
Lembaga pendidikan yang menjadikan kitab-kitab nahwu klasik sebagai acuan dalam pembelajaran ilmu qawaid harus memback-up materi-materi tersebut dengan materi qawaid yang lain yang sistematikanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam menganalisa teks-teks berbahasa arab. Dalam kaitannya dengan ini menjadi penting materi “aplikasi qawaid”.
Disamping sistematis dan azaz manfaat, seorang pengajar ilmu nahwu harus menggunakan azaz kepedulian. Yang dimaksud dengan azaz kepedulian adalah seorang guru dalam mengajar ilmu qawaid harus selalu peduli pada penguasaan peserta didik terhadap materi-materi yang pernah diajarkan, dari materi yang pertama sampai yang terakhir. Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa semua materi ilmu qawaid pada dasarnya merupakan sesuatu yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketidakpahaman peserta didik terhadap satu materi ilmu qawaid akan sangat mengganggu kemampuan dan akurasinya dalam menganalisa dan memahami kitab kuning.
Meskipun peserta didik adalah subyek, akan tetapi eksistensi dan keberhasilannya sangat tergantung pada seorang tenaga pengajar. Maksudnya apakah peserta didik akan selalu mencoba dan berusaha untuk menguasai pelajaran, tergantung pada apakah seorang tenaga pengajar selalu peduli dan mengontrol secara serius dan berkelanjutan setiap materi yang pernah diajarkan. Selama tenaga pengajar tidak peduli dan tidak pernah mengontrol kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, selama itu pula sebenarnya tenaga pengajar sudah gagal dalam mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik. Realitas seorang peserta didik terpaksa harus melupakan materi yang pernah dipahami dan dikuasainya sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakpedulian seorang tenaga pengajar dalam mengontrol kemampuan peserta didiknya.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, seorang tenaga pengajar ilmu qawaid perlu menetapkan waktu satu hari dalam satu minggu misalnya, untuk dijadikan sebagai waktu evaluasi yang berfungsi memaksa peserta didik untuk selalu mempertahankan hafalan, pemahaman dan penguasaannya terhadap materi ilmu qawaid yang pernah diajarkan.
2. Unsur Mufradat.
Mufradat memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk dapat memahami kitab kuning. Bagaimanapun baiknya pemahaman qawaid peserta didik tanpa didukung oleh koleksi hafalan mufradat yang memadai, akan tetap mengalami kesulitan dalam memahami kitab kuning.
Sebuah lembaga pendidikan yang menetapkan fahmu al-kutub sebagai tujuan, harus memiliki program pembekalan mufradat kepada para peserta didiknya , disamping pembekalan ilmu qawaid. Pembekalan mufradat inilah yang sering dilupakan dan tidak pernah dikontrol secara ketat, utamanya hal ini terjadi di lembaga pendidikan formal.
Banyak sekali strategi yang dapat dilakukan untuk dapat memaksa peserta didik selalu menghafalkan mufradat yang dibutuhkannya, baik itu melalui jalan formal, yakni menjadikan mahfudhot sebagai materi pelajaran, atau melalui jalan yang tidak formal, misalnya ada komitmen yang secara konsisten selalu dipertahankan dari semua jajaran tenaga pengajar untuk selalu meminta para peserta didik secara acak membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan (bukan kitabnya sendiri yang sudah diberi harakat dan arti), sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai.
Dalam konteks Lembaga formal, perlu ada kebijakan berani dari pihak pimpinan untuk dapat menyelesaikan masalah ini, ketika kemampuan membaca kitab memang merupakan salah tujuan pembelajaran di Lembaga formal.
Kebijakan berani dimaksud misalnya adalah mewajibkan para dosen yang membina mata kuliah keagamaan untuk menggunkan referensi yang berbahasa arab sebagai sumber utamanya dan melarang keras penggunaan referensi terjemahan sebagai referensi utama. Demikian juga halnya dengan para dosen pembina mata kuliah keagamaan. Mereka harus secara kompak mendorong dan bahkan harus mewajibkan seluruh mahasiswa yang ada dalam bimbingannya untuk menggunakan sumber primer yang berbahasa Arab.
Realitas mengatakan bahwa mahasiswa yang menjadi peserta didik kita cukup minim koleksi mufradatnya. Kita hampir yakin bahwa mayoritas mahasiswa yang menjadi peserta didik kita tidak mampu membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan. Realitas semacam ini memang merupakan sesuatu yang wajar, karena tidak ada upaya yang sistematis yang dilakukan oleh tenaga pengajar untuk mengikat mufradat yang pernah diajarkan, sehingga tidak lepas dan dilupakan begitu saja oleh para peserta didik, bahkan yang lebih tragis lagi , mahasiswa kita sudah merasa puas dan tidak merasa bersalah, ketika mereka menggunakan referensi terjemahan.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada sebuah kesimpulan bahwa kepedulian tenaga pengajar untuk secara sistematis membekali dan menambah mufradat para peserta didik dan sekaligus mengikatnya dengan menggunakan tekhnik dan strategi tertentu, sehingga mufradat-mufradat yang pernah diajarkan tidak begitu saja dilupakan, merupakan point penting dan cukup signifikan dalam memperbanyak koleksi mufradat para peserta didik. Kelalaian tenaga pengajar dalam mengikat mufradat yang pernah diajarkan merupakan awal kegagalan seorang peserta didik dalam mempertahankan mufradat yang sudah dikenal, atau bahkan dihafalnya.
3. Unsur Tathbiq
Problem utama yang dihadapi peserta didik dalam balajar qawaid, baik nahwu atau sharf bukan terletak pada bagaimana menghafal teori-teori ilmu nahwu dan sharf yang ada, tetapi terletak pada bagaimana menerapkan teori qawaid yang ada pada mufradat yang sudah dihafal. Secara teoritis ketika ditanya tentang bab-bab qawaid tertentu, rata-rata para peserta didik mampu menjawabnya dengan baik. Namun demikian, ketika mereka diminta untuk mengaplikasikan teoari qawaid dengan menganalisa teks yang belum pernah dibacakan sama sekali, rata-rata dari mereka merasa kesulitan dan pada akhirnya macet dan menyerah.
Yang dimaksud dengan tathbiq adalah penerapan qawaid yang sudah dikuasai oleh peserta didik pada mufradat yang sudah dihafal dengan menggunakan sarana teks-teks berbahasa arab. Tathbiq ini membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena realitasnya karakter dari teks-teks berbahasa arab adalah tertulis dengan tanpa harakat, sehingga alternatif bacaan yang dapat diberikan pada setiap kalimat yang terdapat dalam teks tersebut juga sangat banyak.
Untuk memperjelas permasalahan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; Lafadz من pada dasarnya dapat dibaca من dengan dibaca kasrah mimnya, juga dapat dibacaمن dengan dibaca fathah mimnya dan juga dapat dibaca من dengan dibaca fathah mimnya dan ditasydid nunnya. Kemampuan tertinggi dalam ilmu nahwu justru terletak pada kemampuan santri untuk memberikan alternatif bacaan yang banyak untuk satu kata dan kemudian memilih satu alternatif pilihan dari alternatif-alternatif yang ada dengan benar, tepat dan akurat.
Tathbiq al-qawaid membutuhkan materi pelajaran khusus yang mungkin dapat disebut dengan aplikasi qawa’id. Dalam aplikasi qawaid materi yang dibahas bukan lagi mengenai materi-materi khusus, seperti bab fail, mubtada dan seterusnya. Yang dibahas dalam aplikasi qawaid adalah materi lintas bab. Materi yang dibahas dalam aplikasi qawaid selalu berangkat dari realitas yang terdapat di dalam teks, sehingga secara tekhnis terlebih dahulu seorang tenaga pengajar menuliskan teks yang dipilih atau menentukan bacaac tertentu yang terdapat didalam sebuah kitab yang sudah dimiliki oleh pesereta didik, kemudian peserta didik diminta untuk menganalisa sesuai dengan kemampuan qawaid yang sudah diberikan.
Setelah waktu yang diberikan sudah habis, seorang tenaga pengajar harus mempertanyakan hasil analisa peserta didik baik menyangkut I’rab, tasrifan, ma’na dan murad dari teks yang ditulis oleh sang tenaga pengajar . Setelah itu, baru tenaga pengajar mengambil alih penuh waktu yang ada dan memanfaatkannya untuk menjelentrekkan logika-logika analisa teks, dengan sebuah harapan seorang peserta didik mampu merekam logika-logika yang dikembangkan sang tenaga pengajar dan pada akhirnya mampu menirukan logika-logika tersebut pada teks-teks berbahasa arab yang lain.
Tentu saja, seorang tenaga pengajar yang dapat memegang materi aplikasi qawaid hanyalah terbatas pada tenaga pengajar yang kemampuan qawaidnya cukup luas, karena dia harus mampu menjelaskan dengan baik setiap lafadz yang terdapat dalam teks.
Dalam meniti karier ilmiyah, utamanya yang berkenaan dengan masalah keislaman, seseorang membutuhkan kemampuan bahasa Arab. Dari empat kemampuan bahasa arab yang ada, kemampuan membaca teks arab merupakan kemampuan yang paling penting untuk diperhatikan, meskipun hal ini tidak dapat diterjemahkan dengan dapat diabaikannya kemampuan bahasa arab yang lain .
Realitas mengatakan bahwa untuk mengkaji persoalan-persoalan keagamaan yang literaturnya tertulis dengan menggunakan bahasa arab, bagaimanapun juga yang lebih berperan adalah kemampuan membaca. Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan memahami kitab dapat berdampak pada terbatasnya orang tersebut dalam mengelaborasi persoalan keagamaan yang sedang dikajinya.
Minimal ada tiga unsur pokok yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk dapat sampai pada tingkat kemampuan pemahaman kitab yang memadai dan memenuhi standart. Tiga unsur dimaksud adalah unsur qawaid, unsur mufradat dan unsur tathbiq. Seseorang yang hanya memiliki kemampuan qawaid akan bermasalah dalam membaca dan memahami kitab, ketika perbendaharaan kata (mufradat ) yang dimilikinya sangat minim, demikian juga seterusnya. Karena demikian, tiga unsur ini harus diupayakan untuk dikuasai secara sistematis dan berkelanjutan baik oleh tenaga pengajar, maupun oleh peserta didik.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang peran dan andil dari tiga unsur di atas dalam mengantarkan peserta didik pada kemampuan memahami kitab, akan kami uraikan masing-masing dari tiga unsur di atas secara lebih jelas dan konkrit.
1. Unsur Qawaid
Kata qawaid merupakan bentuk jamak dari mufrad qaidatun yang berarti dasar, asas, pedoman, peraturan, kaidah . Sebenarnya ilmu-ilmu bahasa arab yang berfungsi menjaga ucapan dan tulisan dari kesalahan ada tiga belas, yaitu Sharf, I’rab, Rasm, Ma’aniy, Bayan, Badi’, ‘Arudl, Qawafiy, Qardlu al-syi’ry, Insya’, Khithabah, Tarikh al-adab dan matnu al-lughah.Dari tiga belas ilmu bahasa arab di atas yang paling penting adalah ilmu sharf dan ilmu I’rab ( nahwu ) .
Ilmu nahwu secara umum bertugas untuk menganalisis kedudukan I’rab sebuah kalimah dalam jumlah, sedangkan ilmu sharf secara umum bertugas untuk menganalisis status kata (shighat) yang merangkai sebuah jumlah.
Kata kunci yang harus diperhatikan dalam pengajaran qawaid, baik ilmu nahwu atau ilmu sharf adalah sistematis. Pengajaran ilmu qawaid yang tidak sistematis akan berdampak pada lompatan berfikir dan keruwetan yang berkepanjangan. Untuk dapat mensistematisasi materi ilmu qawaid dengan baik, sehingga mudah dicerna dan difahami, seseorang harus memahami terlebih dahulu pada karakter masing-masing bab yang terdapat dalam ilmu nahwu dan ilmu sharf. Dari perspektif inilah dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang yang bisa membaca kitab dapat menjadi pengajar ilmu nahwu dan sharf yang baik, yang mampu memahamkan dan mengantarkan peserta didiknya pada tingkat kemampuan memahami kitab dengan baik
Secara sederhana kerangka fikir materi ilmu qawaid yang sistematis dapat digambarkan sebagai berikut:
كلمة ¬ اعراب ¬ جملة
Materi-materi yang termasuk dalam kategori kalimah (kata) adalah materi yang merupakan prasyarat untuk masuk pada materi I’rab. Pembahasan materi-materi ini merupakan pembahasan yang mandiri, bukan merupakan pembahasan pengaruh atau hubungan antara kalimah yang satu yang biasa disebut sebagai amil dengan kalimah yang lain yang biasa disebut sebagai ma’mul . Materi-materi ini antara lain adalah:
a. Fiil, yang meliputi :
1). Madli, Mudlori’ dan Amar. Pembahasan klasifikasi fi’il ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar untuk pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. oleh sebab itu, pembahasannya selalu didahulukan dari pembahasan klasifikasi fi’il yang lain. Secara umum pembahasan klasifikasi fi’il ini berkaitan dengan zaman yang dimiliki oleh sebuah kalimat fi’il.
2). Mujarrad dan Mazid. Pembahasan klasifikasi ini penting, karena akan memberikan informasi kepada kita bahwa huruf-huruf yang membentuk sebuah kalimat fi’il ada yang merupakan huruf asli (fa’ al-fi’li, ain al-fi’li dan lam al-fi’li) dan ada pula yang merupakan huruf ziyadah. Fi’il yang hanya dibentuk oleh huruf asli saja disebut dengan fi’il mujarrad yang sifat dasarnya adalah sama’iy, sedangkan fi’il yang dibentuk dari gabungan huruf asli dan huruf ziyadah disebut dengan fi’il mazid yang memiliki sifat dasar qiyasiy. Pembahasan klasifikasi fi’il mujarrad dan mazid ini selalu berkaitan dengan fawaid al-ma’na .
3). Shahih dan Mu’tal. Pembahasan materi ini penting karena akan memberikan informasi pada kita bahwa huruf yang membentuk lafadz-lafadz bahasa arab dapat menerima pembuangan, pergantian atau perubahan. Huruf yang membentuk sebuah lafadz tidak semuanya merupakan huruf asli. Ia dapat juga merupakan huruf pengganti dari huruf asli yang harus diganti atau dibuang karena alasan-alasan tertentu.
4). Ma’lum dan Majhul. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan fa’il dan naib fa’il. Sebuah kalimat yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah fi’il dapat ditentukan sebagai fa’il atau naib fail tergantung pada apakah fi’il yang jatuh sebelumnya beupa fi’il ma’lum atau fi’il majhul.
5). Lazim dan Mutaaddi. Pembahasan ini penting sebagai prasyarat untuk masuk pada pembahasan maf’ul bih. Sebuah jumlah fi’liyah yang dibentuk oleh sebuah fi’il terkadang harus dilengkapi oleh maf’ul bih, terkadang tidak. Hal ini tergantung pada apakah fi’il yang membentuk jumlah fi’liyah merupakan fi’il lazim ataukah fi’il mutaadi.
6). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan klasifikasi ini tidak ada sangkut pautnya dengan analisa teks. Pembahasan klasifikasi ini hanya berfungsi memberikan kesadaran dan informasi bahwa tidak semua harakat akhir dari sebuah kalimat fi’il dapat berubah ketika dimasuki ‘amil.
7). Dan lain-lain
b. Isim, yang meliputi :
1). Mufrad, Tatsniyah dan Jama’. Pembahasan ini secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
2). Mudzakkar dan Muannats. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut , hal, fa’il dan naib fa’il karena adanya persyaratan mutabaqah dalam bab-bab yang disebutkan di atas.
3). Nakirah dan Ma'rifat. Pembahasan ini juga secara langsung berkaitan erat dan menjadi dasar dari pembahasan tentang mubtada’-khabar, na’at-man’ut dan hal, karena adanya persyaratan dasar bahwa mubtada’ harus berupa isim ma’rifat, na’at dan man’ut harus selalu muthabaqah dan hal harus selalu berupa isim nakirah.
4). Munsharif dan Ghairu Munsharif. Pembahasan ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan analisa teks atau murad, tetapi hanya merupakan penegasan bahwa tanwin yang merupakan tanda dari sebuah kalimat isim tidak dapat dipasangkan pada sebuah kalimat isim yang memenuhi persyaratan untuk ditentukan sebagai isim ghairu munsharif.
5). Mabni dan Mu’rab. Pembahasan ini sebenarnya juga tidak ada kaitannya dengan analisa teks, atau murad, tetapi hanya merupakan bentuk penegasan bahwa harakat akhir dari sebuah kalimat isim tidak semuanya dapat ditundukkan dan dirubah oleh sebuah amil. Isim-isim yang termasuk dalam kategori mabni harakat akhirnya tetap dan tidak dapat dirubah oleh sebuah amil.
6). Isim Sifat. Pembahasan ini secara khusus barkaitan dengan pembahasan na’at-man’ut dan isim-isim yang dapat beramal sebagaimana fi’ilnya.
7). Manqush dan Maqshur. Pembahasan ini berkaitan dengan penegasan bahwa tidak semua isim mu’rab yang dimasuki amil, harakat akhirnya berubah secara lafdziy, akan tetapi juga ada yang berubah secara taqdiriy.
8). Masdar. Pembahasan ini berkaitan dengan pengamalan masdar
9). Dan lain-lain
c. Huruf
Pembahasan huruf untuk tahap awal cukup pengenalan jenis huruf dan pengaruhnya pada sebuah kalimat yang dimasukinya. Pembahasan huruf untuk tahap dasar tidak sampai pada pembagian kedalam klasifikasi huruf ashliy, zaid dan syabih bi al-zaid, atau tidak sampai pada pembahasan ma’aniy huruf al-jar, karena pembahasan semacam ini cukup banyak menyita perhatian dan pemikiran.
Sedangkan materi-materi yang termasuk dalam kategori I’rob adalah:
1) Anwa’ dan Alamat al-I’rob.
Pembahasan ini berfungsi memberikan informasi kepada peserta didik tentang istilah yang menunjukkan perubahan yang biasa dipakai dalam I’rab, mulai dari rafa’, nashab, jar dan jazem beserta tanda-tanda yang bervariasi yang menunjukkan perubahan I’rab tersebut. Dari materi inilah peserta didik akan memahami bahwa rafa’ tidak identik dengan dlammah, nashab tidak identik dengan fathah, jar tidak identik dengan kasrah dan jazem tidak identik dengan sukun. Masih ada tanda yang lain yang menunjukkan rafa’, nasab, jar dan jazem selain tanda-tanda yang disebutkan di atas.
2) Aqsam al-I’rab.
Pembahasan ini memberikan informasi kepada peserta didik bahwa perubahan hukum sebuah kalimat karena tuntutan sebuah amil, ada yang secara dhahir dapat dilihat (dhahiran atau lafdzan), ada pula perubahan yang secara dhahir tidak dapat dilihat, meskipun sebenarnya memiliki tanda I’rab , akan tetapi karena alasan-alasan tertentu, tanda I’rab tersebut tidak dapat dimunculkan ( taqdiran ) dan ada pula perubahan yang memang tidak memiliki tanda I’rab ( mahallan ) karena memang tanda I’rab tidak dapat masuk pada kalimat tersebut.
3) Marfuat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
4) Manshubat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
5) Majrurat al-asma.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja, tidak usah terlalu rinci. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian (kalau ada dan pembahasannya tidak terlalu tinggi) dan contoh.
6) Tawabi’.
Untuk tahap awal, pembahasan materi ini sebaiknya secara global saja dan harus memperhatikan azaz manfaat dan tingkat signifikansi sebuah konsep untuk dibahas. Minimal ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan konsep ini, yaitu tentang definisi, pembagian dan contoh.
Sementara yang dimaksud dengan jumlah dalam sistimatika kerangka fikir nahwu di atas adalah jumlah yang memiliki mahal I’rab ( laha mahallun min al-I’rab) dan yang tidak memiliki mahal I’rab ( la mahalla laha min al-I’rab
Materi tentang I’rab tidak boleh diajarkan sama sekali sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan dan difahami. Karena materi tentang kalimat merupakan materi prasyarat dari materi I’rab. Akan terjadi lompatan berfikir yang berdampak pada kebingungan dan keruwetan yang dialami peserta didik dalam menangkap dan memahami pelajaran ketika materi tentang I’rab diajarkan sebelum materi tentang kalimat selesai diajarkan.
Sebagai ilustrasi awal dapat dicontohkan sebagai berikut ; Materi tentang fail yang masuk dalam kawasan I’rab tidak mungkin dapat ditangkap dengan baik, apabila pemahaman peserta didik tentang konsep fiil ma’lum dan fiil majhul masih nihil, karena untuk bisa membedakan antara fail dan naib fail kemampuan tentang fiil ma’lum dan fiil majhul mutlak diperlukan. Materi tentang mubtada tidak bisa diajarkan dengan baik sebelum peserta didik memahami dengan baik konsep nakiroh dan ma’rifat, karena prinsip dasarnya, sebuah mubtada tidak boleh dibentuk kecuali dari isim ma’rifat .
Materi tentang na’at-man’ut tidak mungkin diajarkan sebelum peserta didik memahami konsep mufrad-tatsniyah-jama’, mudzakkar- muannats dan ma’rifat-nakiroh, karena antara na’at dan man’ut harus terjadi kesesuaian dalam aspek yang disebutkan terakhir .
Dan masih banyak contoh yang lain yang makin menegaskan bahwa materi-materi dalam ilmu qawaid harus diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, materi prasyarat dan materi inti.
Disamping harus sistematis, pengajaran materi qawaid juga harus didasarkan pada azaz manfaat. Seorang pengajar ilmu qawaid sebisa mungkin harus mengupayakan materi yang diajarkan dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh peserta didik . Materi-materi yang tidak membumi atau jarang muncul dalam teks-teks berbahasa arab sebisa mungkin pada tahap awal untuk ditinggalkan, karena peserta didik tidak dapat secara langsung merasakan manfaatnya yang pada akhirnya dapat berdampak pada kejenuhan, kebosanan dan bahkan ketidak sukaan terhadap materi-materi ilmu qawaid
Azaz manfaat ini menjadikan seorang tenaga pengajar harus mampu membaca realitas yang terdapat dalam teks-teks berbahasa arab. Maksudnya, materi-materi yang paling sering dijumpai dalam teks-teks berbahasa arab harus mendapatkan penekanan dan perhatian khusus, sehingga dikuasai dan difahami oleh peserta didik.
Seorang tenaga pengajar ilmu qawaid tidak boleh mengajarkan materi-materi yang ada sesuai dengan urut-urutan yang terdapat dalam kitab, karena sistematika pembahasan materi ilmu qawaid yang ditawarkan di dalam kitab-kitab klasik tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan peserta didik , akan tetapi didasarkan pada pertimbangan kesamaan dan kesejenisan. Sebagai contoh, untuk mengenal maf’ul bih misalnya, seorang peserta didik harus menunggu waktu yang cukup lama, karena harus menunggu terlebih dahulu penyelesaian secara keseluruhan semua bab yang termasuk dalam kategori marfu’at al-asma , padahal terbatasnya waktu yang tersedia menjadikan peserta didik sulit menghatamkan bab tersebut secara mendalam dan meyakinkan.
Kita dapat melihat sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab klasik secara umum, dimana pembahasannya selalu dimulai dari bab kalam, kemudian dilanjutkan dengan bab I’rab, marfuat al-asma, manshubat al-asma dan diakhiri dengan pembahasan majrurat al-asma’.
Untuk peserta didik yang memang sejak awal memiliki niat berlama-lama di pondok pesantren yang ini biasa terjadi di pesantren-pesantren salaf yang kurikulumnya memang sudah didesain demikian, sistematika pembahasan yang ditawarkan kitab-kitab klasik bukan merupakan masalah. Akan tetapi, ketika dikaitkan dengan peserta didik yang kesempatan belajarnya dibatasi oleh waktu, yakni hanya beberapa semester saja dengan waktu tatap muka sangat minim dan semangat untuk menguasai materi juga minim, maka sistematika yang ditawarkan oleh kitab-kitab klasik dapat menjadi sebuah permasalahan, ketika harus diikuti dan diterapkan secara ketat.
Dalam konteks lembaga pendidikan formal yang lain, dimana controling dan monitoring terhadap target-target materi yang harus diajarkan sangat lemah, bisa jadi pengajaran kitab-kitab qawaid yang ada hanya bersifat formalitas dan tidak pernah dikaji secara tuntas dan serius. Sering kita dengar keluhan dari para peserta didik tentang fakta yang ada, dimana kitab jurumiyah yang sedang dikaji dan masih sampai pada bab mubtada’ terpaksa pengajian harus dihentikan dan kemudian diganti kitab lain, karena waktu yang tersedia sudah habis dan masuk tahun ajaran baru. Demikian pula halnya nasib pengajian kitab I’mrithy, mutammimah dan bahkan alfiyah.
Realitas di atas menjadikan kita berkesimpulan bahwa pemahaman ilmu qawaid yang mungkin dimiliki oleh para peserta didik “paling banter” hanya sampai pada tingkatan marfuat al-asma’, sedangkan pemahaman tentang manshubat dan majrurat tidak pernah mereka miliki, karena memang tidak mendapatkan porsi pembahasan yang memadai, akibat dari porsi jam yang tersedia sangat terbatas dan alur pengajaran yang mengikuti sistematika yang dikembangkan di dalam kitab-kitab qawaid klasik.
Lembaga pendidikan yang menjadikan kitab-kitab nahwu klasik sebagai acuan dalam pembelajaran ilmu qawaid harus memback-up materi-materi tersebut dengan materi qawaid yang lain yang sistematikanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam menganalisa teks-teks berbahasa arab. Dalam kaitannya dengan ini menjadi penting materi “aplikasi qawaid”.
Disamping sistematis dan azaz manfaat, seorang pengajar ilmu nahwu harus menggunakan azaz kepedulian. Yang dimaksud dengan azaz kepedulian adalah seorang guru dalam mengajar ilmu qawaid harus selalu peduli pada penguasaan peserta didik terhadap materi-materi yang pernah diajarkan, dari materi yang pertama sampai yang terakhir. Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa semua materi ilmu qawaid pada dasarnya merupakan sesuatu yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketidakpahaman peserta didik terhadap satu materi ilmu qawaid akan sangat mengganggu kemampuan dan akurasinya dalam menganalisa dan memahami kitab kuning.
Meskipun peserta didik adalah subyek, akan tetapi eksistensi dan keberhasilannya sangat tergantung pada seorang tenaga pengajar. Maksudnya apakah peserta didik akan selalu mencoba dan berusaha untuk menguasai pelajaran, tergantung pada apakah seorang tenaga pengajar selalu peduli dan mengontrol secara serius dan berkelanjutan setiap materi yang pernah diajarkan. Selama tenaga pengajar tidak peduli dan tidak pernah mengontrol kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, selama itu pula sebenarnya tenaga pengajar sudah gagal dalam mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik. Realitas seorang peserta didik terpaksa harus melupakan materi yang pernah dipahami dan dikuasainya sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakpedulian seorang tenaga pengajar dalam mengontrol kemampuan peserta didiknya.
Dalam kaitannya dengan hal diatas, seorang tenaga pengajar ilmu qawaid perlu menetapkan waktu satu hari dalam satu minggu misalnya, untuk dijadikan sebagai waktu evaluasi yang berfungsi memaksa peserta didik untuk selalu mempertahankan hafalan, pemahaman dan penguasaannya terhadap materi ilmu qawaid yang pernah diajarkan.
2. Unsur Mufradat.
Mufradat memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk dapat memahami kitab kuning. Bagaimanapun baiknya pemahaman qawaid peserta didik tanpa didukung oleh koleksi hafalan mufradat yang memadai, akan tetap mengalami kesulitan dalam memahami kitab kuning.
Sebuah lembaga pendidikan yang menetapkan fahmu al-kutub sebagai tujuan, harus memiliki program pembekalan mufradat kepada para peserta didiknya , disamping pembekalan ilmu qawaid. Pembekalan mufradat inilah yang sering dilupakan dan tidak pernah dikontrol secara ketat, utamanya hal ini terjadi di lembaga pendidikan formal.
Banyak sekali strategi yang dapat dilakukan untuk dapat memaksa peserta didik selalu menghafalkan mufradat yang dibutuhkannya, baik itu melalui jalan formal, yakni menjadikan mahfudhot sebagai materi pelajaran, atau melalui jalan yang tidak formal, misalnya ada komitmen yang secara konsisten selalu dipertahankan dari semua jajaran tenaga pengajar untuk selalu meminta para peserta didik secara acak membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan (bukan kitabnya sendiri yang sudah diberi harakat dan arti), sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai.
Dalam konteks Lembaga formal, perlu ada kebijakan berani dari pihak pimpinan untuk dapat menyelesaikan masalah ini, ketika kemampuan membaca kitab memang merupakan salah tujuan pembelajaran di Lembaga formal.
Kebijakan berani dimaksud misalnya adalah mewajibkan para dosen yang membina mata kuliah keagamaan untuk menggunkan referensi yang berbahasa arab sebagai sumber utamanya dan melarang keras penggunaan referensi terjemahan sebagai referensi utama. Demikian juga halnya dengan para dosen pembina mata kuliah keagamaan. Mereka harus secara kompak mendorong dan bahkan harus mewajibkan seluruh mahasiswa yang ada dalam bimbingannya untuk menggunakan sumber primer yang berbahasa Arab.
Realitas mengatakan bahwa mahasiswa yang menjadi peserta didik kita cukup minim koleksi mufradatnya. Kita hampir yakin bahwa mayoritas mahasiswa yang menjadi peserta didik kita tidak mampu membaca kitab yang pernah diajarkan dengan menggunakan kitab kosongan. Realitas semacam ini memang merupakan sesuatu yang wajar, karena tidak ada upaya yang sistematis yang dilakukan oleh tenaga pengajar untuk mengikat mufradat yang pernah diajarkan, sehingga tidak lepas dan dilupakan begitu saja oleh para peserta didik, bahkan yang lebih tragis lagi , mahasiswa kita sudah merasa puas dan tidak merasa bersalah, ketika mereka menggunakan referensi terjemahan.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada sebuah kesimpulan bahwa kepedulian tenaga pengajar untuk secara sistematis membekali dan menambah mufradat para peserta didik dan sekaligus mengikatnya dengan menggunakan tekhnik dan strategi tertentu, sehingga mufradat-mufradat yang pernah diajarkan tidak begitu saja dilupakan, merupakan point penting dan cukup signifikan dalam memperbanyak koleksi mufradat para peserta didik. Kelalaian tenaga pengajar dalam mengikat mufradat yang pernah diajarkan merupakan awal kegagalan seorang peserta didik dalam mempertahankan mufradat yang sudah dikenal, atau bahkan dihafalnya.
3. Unsur Tathbiq
Problem utama yang dihadapi peserta didik dalam balajar qawaid, baik nahwu atau sharf bukan terletak pada bagaimana menghafal teori-teori ilmu nahwu dan sharf yang ada, tetapi terletak pada bagaimana menerapkan teori qawaid yang ada pada mufradat yang sudah dihafal. Secara teoritis ketika ditanya tentang bab-bab qawaid tertentu, rata-rata para peserta didik mampu menjawabnya dengan baik. Namun demikian, ketika mereka diminta untuk mengaplikasikan teoari qawaid dengan menganalisa teks yang belum pernah dibacakan sama sekali, rata-rata dari mereka merasa kesulitan dan pada akhirnya macet dan menyerah.
Yang dimaksud dengan tathbiq adalah penerapan qawaid yang sudah dikuasai oleh peserta didik pada mufradat yang sudah dihafal dengan menggunakan sarana teks-teks berbahasa arab. Tathbiq ini membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena realitasnya karakter dari teks-teks berbahasa arab adalah tertulis dengan tanpa harakat, sehingga alternatif bacaan yang dapat diberikan pada setiap kalimat yang terdapat dalam teks tersebut juga sangat banyak.
Untuk memperjelas permasalahan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; Lafadz من pada dasarnya dapat dibaca من dengan dibaca kasrah mimnya, juga dapat dibacaمن dengan dibaca fathah mimnya dan juga dapat dibaca من dengan dibaca fathah mimnya dan ditasydid nunnya. Kemampuan tertinggi dalam ilmu nahwu justru terletak pada kemampuan santri untuk memberikan alternatif bacaan yang banyak untuk satu kata dan kemudian memilih satu alternatif pilihan dari alternatif-alternatif yang ada dengan benar, tepat dan akurat.
Tathbiq al-qawaid membutuhkan materi pelajaran khusus yang mungkin dapat disebut dengan aplikasi qawa’id. Dalam aplikasi qawaid materi yang dibahas bukan lagi mengenai materi-materi khusus, seperti bab fail, mubtada dan seterusnya. Yang dibahas dalam aplikasi qawaid adalah materi lintas bab. Materi yang dibahas dalam aplikasi qawaid selalu berangkat dari realitas yang terdapat di dalam teks, sehingga secara tekhnis terlebih dahulu seorang tenaga pengajar menuliskan teks yang dipilih atau menentukan bacaac tertentu yang terdapat didalam sebuah kitab yang sudah dimiliki oleh pesereta didik, kemudian peserta didik diminta untuk menganalisa sesuai dengan kemampuan qawaid yang sudah diberikan.
Setelah waktu yang diberikan sudah habis, seorang tenaga pengajar harus mempertanyakan hasil analisa peserta didik baik menyangkut I’rab, tasrifan, ma’na dan murad dari teks yang ditulis oleh sang tenaga pengajar . Setelah itu, baru tenaga pengajar mengambil alih penuh waktu yang ada dan memanfaatkannya untuk menjelentrekkan logika-logika analisa teks, dengan sebuah harapan seorang peserta didik mampu merekam logika-logika yang dikembangkan sang tenaga pengajar dan pada akhirnya mampu menirukan logika-logika tersebut pada teks-teks berbahasa arab yang lain.
Tentu saja, seorang tenaga pengajar yang dapat memegang materi aplikasi qawaid hanyalah terbatas pada tenaga pengajar yang kemampuan qawaidnya cukup luas, karena dia harus mampu menjelaskan dengan baik setiap lafadz yang terdapat dalam teks.
Jumat, 03 Juni 2011
Dua Cincin Sepasang Satu Hati (pernikahan)
Oleh : M. Muhyiddin Tajul Mafakhir
Pernikahan adalah momen terpenting bagi seluruh manusia di dunia ini, acara yang menganandung unsur tawa dan ketegangan untuk menempuh hidup baru. Sebelum pernikahan kita mengenal acara pertunangan, dan dalam pertunagan sepasang pengantin diberi dua cincin yang sama persis, hal ini menandakan bahwa mereka berdua adalah satu hati.
Setelah mengalami proses pernikahan mereka berdua resmi menjadi suami-istri, mereka dituntut untuk membangun keluarga yang sakinah, mawardah, dan warohma. Setelah beberapa taun allah mengkaruniai seorang anak bisa laki-laki atau perempuan, dan juga ada cobaan-cobaan yang sangat berat, yang paling berat adalah proses perceraian. Perceraian diawali dengan talak yang dilontarkan suami kepada istrinya, meskipun itu bermaksud bercanda tapi itu dianggap serius.
Dan samoga bagi pembaca dan penulis pernikahannya berlangsung lama sampai akhir hayat masing-masing dan jangan sampai pernikahan ini diwarnai dengan pertengkaran yang menyebabkan perceraian.
Pernikahan adalah momen terpenting bagi seluruh manusia di dunia ini, acara yang menganandung unsur tawa dan ketegangan untuk menempuh hidup baru. Sebelum pernikahan kita mengenal acara pertunangan, dan dalam pertunagan sepasang pengantin diberi dua cincin yang sama persis, hal ini menandakan bahwa mereka berdua adalah satu hati.
Setelah mengalami proses pernikahan mereka berdua resmi menjadi suami-istri, mereka dituntut untuk membangun keluarga yang sakinah, mawardah, dan warohma. Setelah beberapa taun allah mengkaruniai seorang anak bisa laki-laki atau perempuan, dan juga ada cobaan-cobaan yang sangat berat, yang paling berat adalah proses perceraian. Perceraian diawali dengan talak yang dilontarkan suami kepada istrinya, meskipun itu bermaksud bercanda tapi itu dianggap serius.
Dan samoga bagi pembaca dan penulis pernikahannya berlangsung lama sampai akhir hayat masing-masing dan jangan sampai pernikahan ini diwarnai dengan pertengkaran yang menyebabkan perceraian.
Orang Baik Takut !
Oleh : M. Muhyiddin Tajul Mafakhir
Sejak beribu-ribu tahun lalu dua kata ini diciptakan yaitu baik dan jahat, semua manusia dianjurkan unntuk memilih salah satu dari dua kata tersebut, ada manusia yang memilih baik, dan ada juga yang jahat.
Orang baik adalah orang yang berbuat baik, sadangkan orang jahat adalah orang yang berbuat kejahatan. Syarat orang baik salah satunya adalah berani, apabila orang baik tidak berani menegakkan kebaikan maka apa yang terjadi ? .
Apabila orang baik takut menegakkan kebenaran maka yang terjadi adalah banyaknya orang jahat yang merajarela di muka bumi ini. Maka berusahalah kamu semua jadi orang baik yang berani agar tidak ada lagi penjahat atau bandit-bandit yang berkeliaran dimuka bumi ini, akan tetapi semua kegiatan itu memerlukan proses
Cara-cara meniadakan penjahat atau bandit-bandit :
1. Membuat peraturan yang sangat ketat
2. Dihilangkannya proses sogok menyogok atau suap menyuap
3. Memberantas penjahat atau bandit-bandit yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem negara
Sejak beribu-ribu tahun lalu dua kata ini diciptakan yaitu baik dan jahat, semua manusia dianjurkan unntuk memilih salah satu dari dua kata tersebut, ada manusia yang memilih baik, dan ada juga yang jahat.
Orang baik adalah orang yang berbuat baik, sadangkan orang jahat adalah orang yang berbuat kejahatan. Syarat orang baik salah satunya adalah berani, apabila orang baik tidak berani menegakkan kebaikan maka apa yang terjadi ? .
Apabila orang baik takut menegakkan kebenaran maka yang terjadi adalah banyaknya orang jahat yang merajarela di muka bumi ini. Maka berusahalah kamu semua jadi orang baik yang berani agar tidak ada lagi penjahat atau bandit-bandit yang berkeliaran dimuka bumi ini, akan tetapi semua kegiatan itu memerlukan proses
Cara-cara meniadakan penjahat atau bandit-bandit :
1. Membuat peraturan yang sangat ketat
2. Dihilangkannya proses sogok menyogok atau suap menyuap
3. Memberantas penjahat atau bandit-bandit yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem negara
Mau Sehat Aja Harus Bayar !
Oleh : M. Muhyiddin Tajul Mafakhir
Dalam suatu kihidupan kesehatan adalah nomor satu. Apabila tidak sehat kita tak bisa apa-apa, kalau sakit kita hanya bisa tidur,makan,tidur,makan dan seterusnya, apabila sakit kita pergi kerumah sakit dan biayanya sangat mahal. Iya kalau yang sakit orang kaya kan bisa langsug bayar kontan, akan tetapi kalau orang miskin udah nyicil, utang sana-sini pokoknya ribet. Makanya kata orang-orang “Orang Miskin Dilarang Sakit”
Orang miskin hanya dapat berobat di puskesmas atau orang yang terkenal sakti didaerahnya, orang miskin tidak berani untuk nerobat di rumah sakit karna takut biayanya MAHAL, sekali berobat saja bisa mencapai ratusan ribu itu masih kalau luka kecil, jika luka parah bisa-bisa puluhan juta.
Makanya banyak orang miskin yang mempunyai anggota keluarga yang cacat fisik atau mental banyak yang mengharapkan si penderita itu mati saja, karna apa ?, salah satunya karena tidak punya uang untuk berobat.
Dan adakah orang yang memiliki jiwa yang mulia yang mau membengun rumah sakit bagi orang miskin dengan tampa biaya sepeser pun !
Dalam suatu kihidupan kesehatan adalah nomor satu. Apabila tidak sehat kita tak bisa apa-apa, kalau sakit kita hanya bisa tidur,makan,tidur,makan dan seterusnya, apabila sakit kita pergi kerumah sakit dan biayanya sangat mahal. Iya kalau yang sakit orang kaya kan bisa langsug bayar kontan, akan tetapi kalau orang miskin udah nyicil, utang sana-sini pokoknya ribet. Makanya kata orang-orang “Orang Miskin Dilarang Sakit”
Orang miskin hanya dapat berobat di puskesmas atau orang yang terkenal sakti didaerahnya, orang miskin tidak berani untuk nerobat di rumah sakit karna takut biayanya MAHAL, sekali berobat saja bisa mencapai ratusan ribu itu masih kalau luka kecil, jika luka parah bisa-bisa puluhan juta.
Makanya banyak orang miskin yang mempunyai anggota keluarga yang cacat fisik atau mental banyak yang mengharapkan si penderita itu mati saja, karna apa ?, salah satunya karena tidak punya uang untuk berobat.
Dan adakah orang yang memiliki jiwa yang mulia yang mau membengun rumah sakit bagi orang miskin dengan tampa biaya sepeser pun !
ahli menyamar & membobol penjara
Oleh : M. Muhyiddin Tajul Mafakhir
Dalam kehidupan di masyarakat indonesia, uang berperan penting, jika tidak ada uang kita tak dapat apa-apa, dan sebaliknya apabila kita mempunyai uang yang melimpa kita dapat melakukan apapun.
Sering kita mendengar dalam berita sebuah nama “GAYUS TAMBUNAN” dengan kasusnya adalah “MAFIA PAJAK”. Dia adalah seseorang yang makan uang pajak masyarakat, seseorang yang kejam yang tidak punya pri kemanusiaan. Karna kasusnya itu ia masuk penjara, akan tetapi bisa keluar masuk penjra dengan bebas, itu berkat kekayaannya yang bisa menyogok para penjaga penjara.
Gayus sering disewa perusahaan-perusahan besar di Indonesia, tujuannya untuk meniadakan atau memperkecil pajak perusahaan itu. Kareena jasanya yang sangat besar gayus diberi imbaan yang tidak sedikit, sampai-sampai gayus bisa membeli sebuah rumah yang mewah, tapi kesenangan itu sudah berakhir karena ia sekarang masuk penjara dan divonis 7 tahun. Jadi gayus menjalani hidup “bersenag-senag dahulu dan bersusah-susah kemudian”.
Dalam kehidupan di masyarakat indonesia, uang berperan penting, jika tidak ada uang kita tak dapat apa-apa, dan sebaliknya apabila kita mempunyai uang yang melimpa kita dapat melakukan apapun.
Sering kita mendengar dalam berita sebuah nama “GAYUS TAMBUNAN” dengan kasusnya adalah “MAFIA PAJAK”. Dia adalah seseorang yang makan uang pajak masyarakat, seseorang yang kejam yang tidak punya pri kemanusiaan. Karna kasusnya itu ia masuk penjara, akan tetapi bisa keluar masuk penjra dengan bebas, itu berkat kekayaannya yang bisa menyogok para penjaga penjara.
Gayus sering disewa perusahaan-perusahan besar di Indonesia, tujuannya untuk meniadakan atau memperkecil pajak perusahaan itu. Kareena jasanya yang sangat besar gayus diberi imbaan yang tidak sedikit, sampai-sampai gayus bisa membeli sebuah rumah yang mewah, tapi kesenangan itu sudah berakhir karena ia sekarang masuk penjara dan divonis 7 tahun. Jadi gayus menjalani hidup “bersenag-senag dahulu dan bersusah-susah kemudian”.
ijazah atau ilmu
OLEH : M. MUHYIDDIN TAJUL MAFAKHIR
Dalam sebuah kehidupan ada dua orang yaitu parman dan parmin, dua orang ini berbeda. Parman sekolah tapi ilmunya biasa-biasa kalau parmin mondok tapi ilmnya luar biasa. Cita-cita mereka ingin jadi dosen dalam sebuah perguruan tinggi. Mereka terus belajar dengan giat, menimbah ilmu disekolah atau pondok terkenal.
Pada waktu yang bersamaan, mereka ikut lomba cerdas cermat, si parman gagal dalam babak penyisihan. Disisi lain si parmin lolos menuju final dan menjadi juara. Itu manandakan bahwa ilmu parman lebih rendah daripada parmin.
Pada saat umur 25 th, mereka berdua daftar jadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Sesi pertama mereka diuji wawasan dan ilmu pengetahuannya, si parman dan si parmin lolos. Si parmin lolos dengan nilai tertinggi sedangkan parman urutan ke-10. Dalam sesi akhir mereka dimintai ijazah atau surat tamat sekolah. Si parman diterima langsung karna dia memiliki ijazah dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, sedagkan si parmin bingung karna ia tidak punya ijazah, akhirnya ia gagal menjdi dosen. Dia tidak bersedih ia hanya mengambil hikmahnya saja yaitu “meskipun pintar apa bila tidak punya ijazah pasti tidak bisa jadi dosen”. Tapi ia tidak menyerah, ia membangun pondok pesantren kecil-kecilan dari bambu. Beberapa tahun kemudian pondok pesantrennya menjadi terkenal dan ia menjadi kiyai terkenal.
“Jadi intinya jangan jadi orang pinter tanpa ijazah”
Dalam sebuah kehidupan ada dua orang yaitu parman dan parmin, dua orang ini berbeda. Parman sekolah tapi ilmunya biasa-biasa kalau parmin mondok tapi ilmnya luar biasa. Cita-cita mereka ingin jadi dosen dalam sebuah perguruan tinggi. Mereka terus belajar dengan giat, menimbah ilmu disekolah atau pondok terkenal.
Pada waktu yang bersamaan, mereka ikut lomba cerdas cermat, si parman gagal dalam babak penyisihan. Disisi lain si parmin lolos menuju final dan menjadi juara. Itu manandakan bahwa ilmu parman lebih rendah daripada parmin.
Pada saat umur 25 th, mereka berdua daftar jadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Sesi pertama mereka diuji wawasan dan ilmu pengetahuannya, si parman dan si parmin lolos. Si parmin lolos dengan nilai tertinggi sedangkan parman urutan ke-10. Dalam sesi akhir mereka dimintai ijazah atau surat tamat sekolah. Si parman diterima langsung karna dia memiliki ijazah dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, sedagkan si parmin bingung karna ia tidak punya ijazah, akhirnya ia gagal menjdi dosen. Dia tidak bersedih ia hanya mengambil hikmahnya saja yaitu “meskipun pintar apa bila tidak punya ijazah pasti tidak bisa jadi dosen”. Tapi ia tidak menyerah, ia membangun pondok pesantren kecil-kecilan dari bambu. Beberapa tahun kemudian pondok pesantrennya menjadi terkenal dan ia menjadi kiyai terkenal.
“Jadi intinya jangan jadi orang pinter tanpa ijazah”
Langganan:
Postingan (Atom)